(Part 3 : https://kairistory96.blogspot.co.id/2018/02/berbagi-ilmu-kepenulisan-novel-bersama_27.html)
Foto bersama Kak Orizuka dan peserta kelas menulis lainnya setelah berdiskusi (btw aku yang memakai kerudung berwarna kuning) |
Memasuki kelas menulis novel yang “keempat”, aku semakin
sadar betapa banyak hal yang telah dipelajari bersama Kak Orizuka. Mulai dari tema hingga yang semakin dalam seperti yang akan diangkat pada tulisan ini.
Sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya, tulisan ini akan
memaparkan poin-poin yang bisa dibilang cukup “memanasi” para penulis novel
pemula untuk memulai kiprahnya.
Langsung saja, materi pertama adalah tentang bab pertama.
Tetapi jangan langsung teringat bab pertama pada Tugas Akhir, yang satu ini
dapat digarap dengan cara yang lebih menyenangkan. Percayalah!
Bab pertama ini bisa dibilang semacam first impression karya di mata pembaca. Menurut Kak Orizuka, kalimat
pembuka pada bagian ini harus mengunakan kalimat yang catchy dan mudah dicerna (sebagai contoh : novel Lovely Bounds). Selebihnya
tentu saja membawa cerita pada pengenalan karakter, setting, dan aspek lain dalam cerita.
Merasa bab pertama akan membosankan? Penulis masih bisa
mengandalkan keberadaan prolog. Prolog dapat digunakan untuk membuka cerita dan
memancing rasa penasaran dengan memberi gambaran awal cerita. Penulis dapat
memasukkan bagian konflik atau klimaks, kilas balik (flashback), dan sebagainya sebagai prolog. Asalkan tidak memberi
pembuka yang klise seperti deskripsi suara alarm, seseorang yang baru bangun
tidur di pagi hari, dan sebagainya. Harus ada sesuatu yang lebih dari itu
sehingga membuat pembaca tertarik.
Apakah keberadaan prolog mutlak harus diiringi epilog? Tidak
juga. Kak Orizuka menjawab bahwa penulis dapat memasukkan prolog tanpa epilog,
begitu juga sebaliknya. Lagipula, apabila terdapat prolog maupun epilog,
keduanya tidak harus benar-benar berkaitan. Epilog bisa disertakan untuk
tambahan cerita atau penutup cerita.
Ketika
memasuki sesi pertanyaan, diskusi jadi mengarah pada krusial tidaknya ejaan
dalam sebuah novel. Dari diskusi tersebut aku menarik kesimpulan bahwa ada
kalanya penulis menyalahi kaidah seperti ejaan dan penggunaan kata demi sebuah
nilai rasa. Namun bukan berarti seorang penulis fiksi tidak perlu belajar EBI.
Dasar-dasarnya tetap harus dipegang, tetapi jangan takut untuk menambah nilai
rasa dengan membuat kaidah tersendiri. Karena menulis fiksi adalah seni, begitu
menurut Kak Orizuka.
Kemudian diskusi
berlanjut pada sesuatu yang selalu menjadi monster bagi para penulis, yaitu writer’s block. Singkatnya, ini adalah kondisi
di mana penulis tidak bisa menghasilkan karya baru, atau yang biasa
disederhanakan sebagai “kehabisan ide” atau “sedang stuck”. “Penyakit” ini menyerang penulis dengan pengalaman secuil
hingga yang segudang. Siapapun pasti pernah mengalaminya.
Lalu
bagaimana cara mengatasinya? Banyak hal yang dapat dilakukan, misalnya refreshing dengan melakukan berbagai
hobi, membangkitkan motivasi dengan membaca buku penulis lain, tidak meninggalkan
naskah terlalu lama, dan sebagainya. Dan satu hal lagi, jangan terlena dengan
zona nyaman selama mengalami “penyakit” ini.
Tak hanya
memaparkan pendapat pribadinya saja, Kak Orizuka juga bertanya pada ketiga
peserta (lagi-lagi hanya ada tiga orang) tentang cara mengatasi writer’s block. Hasilnya, ada beberapa
metode penyembuhan “penyakit” writer’s
block. Ada yang tetap memaksa diri untuk menulis karena terbiasa dengan sistem
deadline, tetapi ada juga yang
sependapat dengan Kak Orizuka dengan mengalihkan diri pada hobi lain sebagai
penyegaran.
Sebagai
tujuan utama menulis novel, penulis tentunya ingin menerbitkan karya yang telah
dibuat susah payah itu. Maka dibuatlah materi tentang pengiriman naskah. Kak
Orizuka menyarankan untuk mencari penerbit yang cocok, artinya sesuai genre dan target pasar. Jangan sampai
penulis mengalami banyak penolakan karena mengirim karyanya ke penerbit yang tidak
berfokus pada genre maupun target
pembaca dari karyanya. Oleh karena itu, riset mengenai buku terbitan penerbit
sangat perlu untuk dilakukan.
Berikut
adalah kelengkapan dokumen untuk mengirimkan naskah ke penerbit :
- Surat pengantar
- Sinopsis (awal-akhir 2-3 halaman), gaya bahasanya diusahakan sama dengan gaya di naskah utama
- Biodata
- Naskah, apakah print out/pdf/doc itu tergantung permintaan penerbit
- Ketentuan lain dari penerbit
Selebihnya,
bisa dicek dalam website penerbit
sasaran. Setiap penerbit memiliki kemungkinan mensyaratkan dokumen yang
memiliki format khusus atau hal lainnya yang cukup berbeda.
Kemudian hal
lain yang harus diperhatikan saat mengirimkan naskah antara lain :
- Penulisan sesuai EBI dan kaidah lainnya
- Tidak bertanya berkali-kali pada penerbit (batas waktu konfirmasi diterima atau tidaknya adalah 3-6 bulan)
- Tidak mengultimatum penerbit
- Tidak mengirimkan naskah pada beberapa penerbit dalam satu waktu
Untuk poin
terakhir, sebenarnya ada perbedaan pendapat di kalangan penulis. Ada penulis
yang merasa sah-sah saja mengirim satu naskah ke beberapa penerbit secara
bersamaan, ada juga yang menunggu konfirmasi sebelum mengirimkannya ke penerbit
lain. Ini tergantung pada pandangan masing-masing penulis.
Ketika
mengirimkan naskah, tentu akan ada dua kemungkinan, yaitu naskah diterima atau
ditolak.
Kak Orizuka
memulai penjelasan dari hal manis terlebih dulu. Apabila penulis menerima
email, telepon, atau surat tanda diterimanya naskah, rangkaian proses
penerbitan akan menanti. Di bawah ini adalah hal yang akan dialami penulis
sebelum naskahnya benar-benar terbit :
- Revisi sesuai masukan dari editor (ada deadline-nya). Revisi bisa berupa permintaan untuk meringkas jumlah kata, dsb
- Editing
- Layout
- Proofread (untuk penyelaras aksara)
- Pembuatan cover
- Penandatanganan kontrak SPPB (Surat Perjanjian Penerbitan Buku)
- Pembayaran melalui dua cara yaitu beli putus dan royalti
Dalam proses
ini, penulis perlu untuk membaca kontrak penerbitan buku dengan seksama agar
tidak timbul kesalahpahaman dengan pihak penerbit. Penulis juga harus aktif
bertanya pada penerbit terkait hal penting seperti waktu terbit, royalti, dan
lain-lain.
Kemungkinan
pahit yang kedua tentu saja penolakan naskah. Penolakan ini bisa karena banyak
faktor, misalnya genre dan target
pasar yang tidak cocok atau unsur intrinsik lainnya. Biasanya penolakan naskah
dilakukan melalui pemberitahuan seperti pada kemungkinan bila naskah diterima.
Di samping kabar buruk tersebut, ada kalanya pihak penerbit mencantumkan hal-hal
yang perlu direvisi pada naskah sebelum mencoba mengirimkannya lagi. Penulis
dapat menentukan apakah masih ingin mengirim ke penerbit tersebut atau mencoba ke
yang lain. Opsi terakhir yang dilakukan bila naskah ditolak adalah membuat
naskah yang baru. Intinya, penulis harus siap menerima segala kemungkinan
menyangkut naskah garapannya.
Begitulah
ilmu yang kudapat pada kelas “keempat”. Untuk kelas bulan depan, kemungkinan
akan mengupas sinopsis milik masing-masing peserta secara mendalam dan membantu
memberi perbaikan-perbaikan. Jadi, di balik pembuatan tulisan ini, aku juga
sibuk memikirkan apakah sinopsisku pantas untuk dikembangkan menjadi sebuah
karya perdana atau sebaliknya.