Perpisahan (お別れ)

9:49 PM

Detik-detik sebelum perpisahan

28 Juli 2017

Pagi itu, tanpa menyisakan kelelahan dari aktivitas di hari sebelumnya, sebagian kesadaranku berkata bahwa hari ini adalah hari terpenting dalam hidupku. Saat kesadaranku bertambah menjadi 80%, aku segera bangkit dari futon yang mulai dingin dan agak keras. Sebenarnya aku sudah membuka mata saat kesadaran mencapai 50%. Itu karena alarm dari HP temanku yang berbunyi nyaring. Yah, kini aku sudah sangat familiar dengan dering alarm itu.

Biasanya aku menyambut pagi hari di Shibamata dengan mengumpulkan banyak sekali semangat untuk berangkat magang. Namun hari ini sangat berbeda, karena aku sadar bahwa ini aku dan teman-temanku harus presentasi di hari terakhir magang ini. Semangat yang seharusnya terkumpul itu malah berbagi ruang dengan perasaan tak ingin segera berpisah dengan rutinitas selama tiga minggu ini.

Dan aku pun kembali memakai setelan jas hitam bermotif vertical, sama seperti ketika seleksi magang maupun hari pertama magang.

“Semua udah siap?”

Ketua kelompok internship bertanya demikian saat kami berenam telah berkumpul di ruang makan penginapan dengan setelan jas serba hitam. Tepat pukul 7:00 kami keluar dari penginapan dan berjalan cepat menuju Stasiun Shibamata. Inilah langkah terakhir kami untuk berjuang mempelajari sampel kesuksesan bangsa Jepang yang sudah berlangsung selama 18 hari. Selama naik densha, turun, berjalan kaki, hingga naik densha lagi, kami bertolak mengikuti rute menuju Northern Lights yang pernah menjadi tempat disambutnya kami sebagai peserta internship.

Akhirnya kami tiba di Northern Lights. Saat kami datang, tantousha-ku belum menunjukkan batang hidungnya. Rasanya lebih cepat dari perkiraan maupun dari waktu dimulainya chourei. Menyadari kehadiran kami yang lebih cepat, salah satu staf CS yang pernah mengajariku berkata, “Hayai desu ne”. Aku pun mengecek jam tangan, jarum ternyata masih menunjukkan pukul 8:20. Ya, kedatangan kami memang lebih cepat dari ekspektasi.

Sementara aku menempati meja kerja, kelima orang temanku memilih untuk menempati ruang briefing sambil mengedit slide presentasi. Tak lama kemudian, tantousha datang dan memberi arahan pada kami mengenai presentasi hari ini.

Seperti biasa pagi hari di Northern Lights dimulai dengan chourei. Sebagai edisi “spesial”, aku memberikan materi tentang ungkapan perpisahan dalam bahasa Indonesia. Seluruh staf pun mengikuti ucapanku seperti biasa. Tapi aku tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan tentang hari terakhirku magang di sini.

Pukul 10 kami berenam pindah ke ruang rapat sambil membawa laptop masing-masing. Kami berlatih sejenak sebelum jam makan siang. Tepat ketika kami mulai merasa lelah, direktur perusahaan dan tantousha-ku mengajak kami makan siang bersama.

Setelah makan siang, kami mencoba simulasi presentasi sebelum tantousha dari perusahaan lain datang. Direktur perusahaan memberi saran dan komentar terhadap konten presentasi. Lalu kami membetulkannya sebisa mungkin sebelum waktu menunjukkan pukul 4 sore. Sambil merevisi konten presentasi, tantousha-ku yang berkebangsaan China itu meminta kami menentukan urutan tampil. Aku menempati urutan ketiga.

Tepat pukul 4 sore, beberapa tantousha maupun pejabat perusahaan tempat magang telah tiba di ruang rapat. Kami mulai bebenah merapikan laptop dan alat tulis di atas meja. Tak terasa sudah saatnya untuk presentasi. Melihat posisi duduk peserta magang dan para tantousha, aku menyimpulkan suasananya hampir sama seperti hari pertama magang. Bedanya, ada beberapa orang tambahan dari program magang lain dan orang Indonesia yang sedang bekerja di Jepang, ikut melihat presentasi kami. Setelah semua siap, kami tampil presentasi secara bergiliran. Rata-rata menyampaikan tentang apa yang dikerjakan selama magang, pengalaman jalan-jalan, hal yang telah dipelajari, dan kesan setelah magang.

Presentasi selesai. Seluruh atmosfir menegangkan, seluruh kegugupan yang menyelimuti telah mencair sepenuhnya. Senyum lega seketika menghiasi wajah aku dan teman-teman internship. Lalu sesi presentasi dilanjut dengan kesan-kesan tantousha tentang kami. Ada yang bercerita tentang keseriusan salah satu dari kami saat bekerja, ada yang bercerita tentang suatu kejadian lucu yang dialami, dan sebagainya.
Pembagian sertifikat internship setelah presentasi akhir

Setelah itu, kami berbincang-bincang dengan tantousha masing-masing, sedikit kilas balik pengalaman internship dan sebagainya. Saat yang lain masih asyik mengobrol, aku mencuri waktu sebentar untuk berfoto bersama rekan di tempatku magang. Meski terlihat sangat sibuk, mereka masih menyempatkan sedikit waktu untuk beberapa kali jepretan kamera. Tak hanya foto bersama, aku pun sempat selfie dengan beberapa orang yang telah mengajariku banyak hal dan menurutku sangat berkesan.
Foto bersama para staf Northern Lights Tokyo

Hari kedua terakhir di Jepang ini lalu diiisi dengan acara makan-makan bersama tantousha dan pihak penyelenggara program magang. Aku dan beberapa belas orang berjalan kaki di sepanjang trotoar Jinbocho. Sambil menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, salah satu pihak penyelenggara internship bertanya padaku,

“Setelah magang ini, apa rencanamu ke depannya?”

Pertanyaan semacam itu sebetulnya sudah dilontarkan kepadaku beberapa kali oleh orang yang berbeda. Namun aku merasa ada keseriusan yang baru kurasakan kali ini dalam pertanyaan tersebut.

“Mungkin melanjutkan studi atau bekerja di Jepang,” jawabku. Mengingat pengalaman berharga yang telah kugali selama internship, aku pun memantapkan diri dengan melanjutkan,“Entah kenapa setelah magang, keinginanku untuk kembali ke Jepang semakin menguat”

Ia tersenyum dan menepuk punggungku. Di wajahnya memang selalu terukir senyum, tapi entah kenapa aku menafsirkan sesuatu yang berbeda dibalik senyuman itu. Semacam rasa puas yang terpendam, sama seperti orang tua yang mengantar anaknya di upacara kelulusan sekolah. Aku membalas senyumnya, tak kalah puas dengan segala dukungan yang ia berikan.

Sehari setelah acara makan-makan, tak ada kegiatan khusus yang kulakukan. Begitu juga dengan teman-teman yang lain. Yang kami lakukan hanyalah membereskan barang-barang di koper maupun jinjingan oleh-oleh. Oh ya, aku juga sempat keluar untuk membeli oleh-oleh, namun sudah kembali lagi ke penginapan sebelum pukul 4 sore. Kalau dipikir lagi, tak biasanya aku pulang seawal ini selama di Jepang. Dan karena sepercik kilas balik itulah aku menghabiskan sisa waktu dengan merenung, menggali lebih jauh kenangan selama di negara maju ini.

30 Juli 2017. Pagi hari di Shibamata.
Di bagian depan penginapan kami selama 3 minggu di Tokyo

Aku dan teman-teman menyeret koper dan berbagai jinjingan menuju Stasiun Shibamata. Sejenak aku menoleh ke belakang, melihat penginapan yang menjadi tempat kami bernaung selama di Negeri Sakura untuk terakhir kalinya. Aku akan selalu mengingat bau kayunya yang khas, yang kini semakin menjauh bersamaan dengan langkahku. Begitu juga dengan senyum staf penginapan yang melepas kepergian kami, semakin menjauh dari pandangan. Lalu kami melewati jalan berlapis aspal sejauh beberapa meter hingga memasuki jalan paving block dengan toko bernuansa Jepang tradisional. Ah, aku teringat pernah berlari dengan nafas memburu melintasi jalan ini, mengejar waktu karena terlambat bangun 20 menit dari biasanya. Kali ini aku tak sanggup lagi untuk menoleh ke manapun selain ke depan di mana stasiun semakin mendekat.

Seiring dengan langkah yang kuarungi, membuat kenanganku sejak 21 hari lalu itu berputar dalam kepala. Hari ketika aku masih sulit menerima dunia baru di hadapanku, hari ketika aku hampir menyerah menghadapi segala tantangan, hari ketika aku menyadari semua orang merangkulku, hari di mana aku berkata jika aku ingin selalu berada di sini, dan diakhiri dengan hari di mana aku tak ingin mengakhiri semua ini. Senyum para sahabat, cerita menginspirasi dari rekan di tempat internship, dan petualangan luar biasa yang sampai kapanpun takkan pudar dalam ingatan.

Sekali lagi, kenangan selama 21 hari itu kembali berputar. Itu membuatku semakin berat untuk meninggalkan Jepang. Namun tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menguatkan diri dan maju menuju boarding pass. Aku pun melangkah bersama teman-teman meninggalkan beberapa orang yang melambaikan tangan ke arah kami, meninggalkan negara yang telah menjadi bagian dari perjalananku, sembari menguatkan hati bahwa aku akan kembali lagi suatu saat nanti.
Foto bersama salah satu staf Shibamata Futen

Detik-detik menjelang take-off, aku hanya bisa menghitung waktu hingga diri ini mendarat di tanah air, lalu bertemu dengan keluarga dan sahabat sebangsa yang menunggu cerita dariku.
Tujuh jam kemudian aku pun tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Di depan mataku kini sudah tak terlihat lautan manusia bermata sipit dengan kulit putih, melainkan lautan manusia sebangsa berkulit sawo matang. Ritme langkah pun kini semakin melambat, sudah tak lagi secepat pasukan baris berbaris. Tak ada lagi rush hour di stasiun, tak ada lagi densha yang berpacu mengangkut para pekerja keras, tak ada lagi rentetan kalimat yang berirama datar dan tegas beserta tulisannya yang rumit. Seluruh inderaku menangkap atmosfir yang sudah tak asing hingga mendorongku untuk berteriak “Welcome Back to Home, Dude!”

Tepat pada pukul 6 sore aku disambut oleh keluargaku di tempat penjemputan bandara. Kami bertukar cerita sejenak sembari membawa koper dan jinjingan hingga memasuki mobil. Ya, kini aku kembali akrab dengan mobil, setelah 21 hari lamanya terikat dengan densha. Dan aku sadar, terkadang hidup itu dipermainkan oleh perpisahan. Perpisahan dengan zona nyaman di tanah air, lalu menyesuaikan diri dengan tempat baru hingga menemukan zona nyaman baru, lalu terpaksa harus berpisah lagi dan kembali ke zona nyaman semula.

Tapi tak apalah. Setidaknya aku kembali membawa kantung pengetahuan yang lebih berat dari sebelumnya. Oh ya, kotak berisi keberanian ini sepertinya harus kuganti dengan yang lebih besar, karena isinya sudah menyumpal hingga keluar dari kotak. Keduanya, akan kubawa lagi ke Negeri Sakura di kesempatan selanjutnya.

You Might Also Like

3 comments

  1. Suatu saat ke sana lagi kak.. heheh

    ReplyDelete
  2. Akhirnya pulang jg sambil menenteng ilmu dan pengalaman ya :)

    ReplyDelete
  3. Yaampun teh pengalaman nya sangat berharga sekali ya sepertinya:) sukses teruss tehhh

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Flickr Images