Pertemuan Dengan Cahaya dari Utara (北光との出会い) ~Pengalaman Pertama Magang di Jepang~
2:50 AM
Pagi
itu, aku terbangun dengan sisa kelelahan dari jalan-jalan kemarin. Enam puluh
persen kesadaranku berkata bahwa hari ini adalah hari yang sangat, sangat penting.
Saat kesadaranku bertambah menjadi 80%, aku segera bangkit dari futon dengan keempukan dan kehangatannya
yang menggoda. Sebetulnya, aku sudah tersadar dari alam mimpi ketika alarm dari
HP temanku berbunyi nyaring. Sepertinya aku akan sangat familiar dengan dering
alarm itu.
Kuhadapkan
wajah ke samping kiriku. Rupanya teman internship-ku
belum bangun. Perlahan kuguncang lengan kirinya seraya memanggil namanya.
Sekali, dua kali, perempuan berambut pendek itu belum juga membuka mata. Barulah
di guncangan ketiga, ia bangun dengan mata mengerjap-ngerjap sambil
mengumpulkan kesadaran. Mencoba keluar dari alam mimpi untuk menyambut hari
pertama internship kami semua. Lalu kami bersiap-siap mandi dan menyiapkan setelan untuk ke kantor hari ini.
Pada
akhirnya setelan jas yang pernah kupakai untuk memperjuangkan program magang
ini (cerita tentang seleksi program magangnya ada di sini) kupakai kembali.
Saat jas hitam bergaris vertikal samar itu menyentuh kulit, rasa takut sedikit menggelayuti
benak. Akan seperti apakah hari-hari magang yang akan kuhadapi? Apakah aku akan
mengalami lagi kejadian kelam saat magang 4 tahun lalu? Tetapi cepat-cepat
kuusir pikiran negatif itu. Tidak, tidak ada yang perlu ditakutkan, gumamku. Untuk
apa takut, toh doa orang tua selalu menyertai.
“Semua
udah siap?”
Sang
ketua mencoba memastikan kesiapan para anggotanya. Karena masih ada beberapa
yang mondar-mandir sambil menyiapkan sarapan maupun memasang dasi, aku dan sang
ketua memilih untuk menunggu di ruang makan penginapan. Entah kenapa aku merasa
sorot matanya lebih serius dibanding saat akan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta.
Tak
lama enam orang peserta internship
telah berkumpul dengan setelan jas serba hitam. Tepat pada pukul 7:15, kami
keluar dari penginapan dan berjalan cepat menuju Stasiun Shibamata. Inilah
langkah pertama kami untuk berjuang mempelajari sampel kesuksesan bangsa Jepang
sampai 18 hari ke depan. Selama menunggu kedatangan densha, kuingat-ingat rute menuju tempat magangku yang menjadi
tempat disambutnya kami sebagai peserta internship.
Sekitar
pukul 7:20, densha ke arah Stasiun
Takasago tiba. Dari jendela gerbong aku melihat kepadatan penumpang dengan
sangat jelas. Sungguh aku terkejut menyadari betapa padatnya para pekerja dan
pelajar di dalam sana. Ternyata cerita mengenai rush-hour sama sekali bukan mitos. Bahkan saat kami masuk ke gerbong
yang penuh sesak, orang di dekat pintu harus didorong dari luar agar
benar-benar berada di dalam gerbong. Selama kurang lebih 10 menit aku harus
tahan dengan posisi berdiri sambil berdesakan dengan penumpang lain, hingga
berganti kereta dari jalur Keisei ke Hanzomon. Untunglah saat masuk kereta
selanjutnya di jalur Hanzomon, kami tak berdesakan seperti tadi.
Akhirnya
kami tiba di Stasiun Jinbōchō setelah menghabiskan waktu kurang lebih 40 menit
di perjalanan. Saat berjalan dari mencari pintu keluar hingga benar-benar
keluar dari stasiun, barulah aku benar-benar merasakan atmosfir pekerja keras
di Jepang. Dari segala arah banyak orang yang bersetelan formal berjalan cepat
dengan kecepatan yang teratur. Karena sudah pukul 8:40, kami pun mengejar waktu
dengan berjalan cepat seperti mereka. Kami sama sekali tak ingin terlambat di
hari pertama, mengingat kami harus sudah berada di kantor pukul 8:45.
Tepat
di depan mata terpampang nama tempat magangku. Untung tak salah lantai saat menggunakan lift tadi. Mataku
mencari-cari pintu masuk kantor. Ah, di sebelah kiri ada pintu yang terbuka.
Mungkin sudah ada para staf yang berkumpul. Perlahan aku maju, beberapa langkah
lebih dulu dari kelima temanku. Loh, tak ada siapapun. Tetapi di depan sana
masih ada satu pintu lagi. Apakah mereka ada di balik pintu itu?
Oh ya, sebelum kuceritakan kelanjutannya, lebih baik aku menjelaskan dulu perusahaan tempatku magang ini. Perusahaan ini bernama Northern Lights (ノーザンライツ株式会社) yang memiliki salah satu service yaitu menjembatani mahasiswa asing yang hendak kerja paruh waktu dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Perusahaan yang mendirikan kantor di Tokyo dan Osaka ini juga membuka sekolah bahasa Jepang di Bandung bernama Northern Lights Education Center (NLEC).
Oh ya, sebelum kuceritakan kelanjutannya, lebih baik aku menjelaskan dulu perusahaan tempatku magang ini. Perusahaan ini bernama Northern Lights (ノーザンライツ株式会社) yang memiliki salah satu service yaitu menjembatani mahasiswa asing yang hendak kerja paruh waktu dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Perusahaan yang mendirikan kantor di Tokyo dan Osaka ini juga membuka sekolah bahasa Jepang di Bandung bernama Northern Lights Education Center (NLEC).
Baiklah, kulanjutkan lagi ceritanya. Perlahan
kuketuk pintu berwarna putih tersebut. Tak ada jawaban. Barulah pintu terkuak
saat aku mengetuk kedua kalinya. Orang yang membukakan pintu tersenyum lebar. Sebelum
ia memberi salam, aku sudah menyalaminya lebih dulu dengan berkata, “Ohayō
gozaimasu!”. Lalu teman-temanku yang lain mengikuti.
Sontak
seluruh mata staf tertuju pada kami. Kemudian mereka menjawab salam kami dengan
ramai. Beberapa di antaranya melemparkan senyum manis. Ternyata semua orang
sudah sibuk di depan komputer masing-masing. Tak lama kemudian ibu penanggung
jawab program magang yang menjemput kami di bandara menyambut dengan wajahnya
yang selalu tersenyum. Hal pertama yang kulakukan adalah meminta maaf karena
sedikit terlambat, mengingat jam menunjukkan pukul 8:47. Untunglah tak menjadi
masalah yang besar. Kami langsung dipersilakan duduk di bangku yang terletak
cukup jauh dan diajak berbincang-bincang.
Saat
kami ditinggal sejenak, tiba-tiba datang seorang perempuan bersetelan hitam dengan rambut panjang yang diikat kuda. Ia
tersenyum dan memperkenalkan diri sebagai tantousha
(penanggung jawab) peserta magang. Setelah itu ia meminta kami menyebutkan
nama, terkecuali aku. Loh mengapa begitu? Karena perempuan itu mengaku telah
mengetahui namaku. Ah, dari situ aku sudah berfirasat nanti pasti akan sering
melakukan banyak hal bersama dia yang katanya berasal dari China itu.
Seluruh
staf yang tadi sibuk tiba-tiba berdiri di sekeliling ruang kantor. Kami pun
diminta untuk ikut berdiri, bergabung ke forum dadakan itu. Dari kejauhan
terdengar seseorang membuka forum, tapi aku tak dapat mendengar dengan jelas
apa yang diucapkannya. Begitu juga saat beberapa orang berbicara secara
bergantian. Aku tak dapat menangkap maksud pembicaraan mereka. Apakah setiap
pagi aku akan mengikuti forum semacam ini?
Ketika
forum dialihkan pada pembicaraan mengenai tujuan kedatangan kami, ibu penanggung
jawab mempersilakan aku dan kelima orang lainnya memperkenalkan diri. Secara
berurutan, kami menyebutkan nama dan asal universitas. Tak lama dari situ,
forum ditutup saat semua mengucapkan “Yoroshiku onegaishimasu!” sambil ojigi (membungkuk hormat) secara
serentak.
Tak
lama setelah forum, kami bersiap ke ruang rapat untuk bertemu dengan tantousha peserta magang dari perusahaan
lain. Di sekeliling meja lonjong telah duduk beberapa orang—perempuan maupun
laki-laki— bersetelan jas maupun kemeja semi formal. Sedangkan kami duduk
berhadapan dengan mereka di kursi yang merapat ke dinding, terpisah dari meja
rapat. Setelah semua siap, acara penyambutan peserta internship pun dimulai. Baik para tantousha maupun peserta magang memperkenalkan diri. Sebagai
tambahannya, kami diminta untuk menjelaskan motivasi dan target mengikuti
program internship. Tak hanya itu, di
acara itu juga kami diberi kesempatan untuk bertukar meishi (kartu nama).
Acara
penyambutan selesai dan teman-temanku berpencar menuju tempat magang bersama tantousha masing-masing. Karena sudah
memasuki jam makan siang, aku diajak oleh tantousha
untuk makan siang di luar bersama atasan dan satu orang peserta magang dari
Vietnam. Seperti temanku saat jalan-jalan kemarin (ceritanya di sini), tantousha-ku mengerti bahwa aku tak
boleh makan makanan tertentu. Akhirnya kami pergi ke restoran Thailand yang
dirasa tak menggunakan bahan-bahan tersebut.
Setelah
makan siang, barulah dimulai sesi pengenalan lingkungan kantor. Ternyata aku
mendapat meja kerja beserta komputer untuk aku bertugas selama magang. Melihat
papan tulis kecil di samping monitor bertuliskan “Selamat datang di Northern Lights” saja
membuatku sadar bahwa orang-orang menyambutku dengan baik. Dari tantousha, aku mendapat penjelasan
mengenai berbagai hal. Mengenai berbagai departemen di perusahaan dan mengenai
misi pertama untuk mempromosikan salah satu service
perusahaan melalui media sosial. Lantas kubuka akun Facebook sesuai
instruksinya dan mulai bekerja.
“Oh
ya, biasanya di sini diadain chourei
(semacam briefing singkat yang
membahas rencana kerja di hari itu setiap pagi) tiap jam 9 pagi. Jadi kamu
datengnya jam segitu, sekalian ngajarin bahasa Indonesia,” ujar tantousha-ku dengan bahasa Jepang
berlogat Mandarinnya yang kental.
“Hah?
Bahasa Indonesia? Ngajarinnya kayak gimana?” aku menoleh sembari menyembunyikan
rasa terkejut. Mengajar bahasa Indonesia katanya?
“Yang
simpel-simpel aja. Kamu pake kertas ukuran A4 aja buat tulisannya. Setelah kamu
ngajar, nanti kertas itu ditempel di tembok sana,” ia menunjuk salah satu sudut
di samping kanan, “Biar staf di sini bisa baca tiap saat”
“Jadi
setiap chourei kamu harus siapin
materinya ya”
Sambil
menjawab chat dari senior maupun
dosen yang kukirimi promosi service perusahaan,
pikiranku mengawang-awang. Apa yang harus kuajarkan besok? Apa yang harus
kutulis di kertas A4? Dan bagaimana caraku menyampaikannya kepada mereka? Oh
tidak, aku harus mempersiapkannya mulai dari malam ini!
Aku mulai berdebar-debar. Akan seperti apakah pengalaman pertamaku mengajar bahasa Indonesia besok di bawah naungan "Cahaya dari Utara" ini?
Aku mulai berdebar-debar. Akan seperti apakah pengalaman pertamaku mengajar bahasa Indonesia besok di bawah naungan "Cahaya dari Utara" ini?
0 comments