Banyak Jalan Menuju Roma

8:42 AM


“Eh, katanya hari ini pengumuman hasil SNMPTN ya?”

“Oh ya?” tanyaku setengah tak percaya, “Duh ngga kerasa ya udah mo nerima mahasiswa baru lagi”

Ah, tak terasa, aku semakin menyadari posisiku yang akan menjadi mahasiswa tingkat akhir. Padahal bila kuingat-ingat kembali, tiga tahun lalu aku menganggap momen ini adalah salah satu momen penentuan jalan hidupku. Dengan kata lain, aku pernah mengalami apa yang para peserta SNMPTN tahun ini alami. Baiklah, mari kucoba untuk putar ulang kenangan yang pernah terjadi pada saat itu.

Kumulai saja ceritanya dari apa yang terjadi jauh hari sebelum menjadi peserta seleksi…

Secara garis besar, merupakan hal yang biasa bila siswa yang telah lulus UN mendaftar sebagai peserta SNMPTN. Namun, apa yang kupilih bisa jadi merupakan sesuatu yang sangat langka bila dibandingkan teman-teman seangkatanku. Entah apa yang langsung menguatkan tekadku untuk memilih sastra Jepang sebagai pilihan jurusan SNMPTN. Lalu apanya yang dibilang sangat langka? Sangat langka karena yang memilihnya justru seorang siswa dari SMK jurusan analisis kimia. Bisa dibilang, siswa yang memilih jalan serupa di sekolahku hanya 1 dari 50 orang dalam setiap angkatannya.

Sebelum mendiskusikan dengan orang tua, aku terlebih dulu berkonsultasi dengan guru BK. Seperti yang dilakukan beberapa teman sekelasku, aku selalu berkunjung ke ruang BK bahkan sejak sebelum UN. Namun tujuanku tak hanya menanyakan informasi seleksi, melainkan juga menguatkan hati untuk “banting stir”. Informasi maupun wejangan dari guru BK yang baik hati itu benar-benar telah membuatku semakin berani maju mengadu nasib di bawah nama SNMPTN.

Ya, di antara teman sekelasku yang mengikuti seleksi, hanya aku yang “banting stir”. Lihat saja, mereka semua memilih jurusan yang sejalur dengan kompetensi di SMK. Saat ditanya oleh teman-teman tentang pilihan jurusan di perguruan tinggi, jawaban mereka pasti antara teknik kimia, kimia murni, atau teknik lingkungan. Karena sejak awal sudah merasa jalanku berbeda dengan mereka, aku pun memutuskan untuk berjuang sendiri mencari informasi seputar seleksi.

Sebelum benar-benar mendaftarkan diri di web SNMPTN, aku mengajak orang tuaku untuk berdiskusi. Tentu saja awalnya mereka terkejut dan hampir menentang pilihanku karena berbeda sangat jauh dengan kompetensi di SMK. Secara perlahan, aku berusaha meyakinkan mereka bahwa itulah yang sebenarnya kuinginkan, pilihan itulah yang sebenarnya menjadi passion terpendam bahkan semenjak SMP. Untunglah mereka maklum, karena mereka berpikir bahwa bagaimana pun juga akulah yang akan menjalaninya.

Tepat dua hari sebelum deadline, nama beserta pilihan jurusanku—yang keduanya berhubungan dengan bahasa dan sastra Jepang—telah masuk menjadi salah satu diantara data beribu-ribu peserta di seluruh Indonesia. Yang kulakukan setelah itu adalah berdoa dengan sangat khusyuk agar Allah membuka jalan ke perguruan tinggi negeri melalui seleksi tersebut. Aku yakin semua peserta pun melakukan hal yang sama, berdoa sambil menggantungkan nasib pada salah satu jalan penentu alur kehidupan selanjutnya.

Tak terasa sudah memasuki hari paling mendebarkan yang sudah ditunggu-tunggu. Hari itu, aku dan ribuan peserta bersiap menerima hasil seleksi. Aku yang saat itu aktif di Facebook maupun Twitter terus memantau kabar dari akun resmi SNMPTN maupun sesama peserta. Entah kenapa aku merasa setengah dari status-status yang membanjiri timeline isinya sangat mewakili kecemasanku. Sambil menunggu countdown pembukaan hasil seleksi di web menunjukkan angka nol, aku menghabiskan waktu di depan laptop selama sekitar 2 jam.

Kalau tidak salah pukul 2 siang, countdown tepat menunjukkan angka nol. Saat kolom pengisian nomor peserta muncul, dengan sangat hati-hati kumasukkan deret angka yang tercantum di kartu peserta satu persatu. Memastikan nomor telah dimasukkan dengan benar, aku mengklik tombol yang akan mengarahkan pada hasil yang ternyata menunjukkan bahwa aku…

“Hah? Ngga lulus?”

Rasa tak percaya menyelimutiku hingga terasa sangat mencekik. Masih tak percaya dengan apa yang kulihat, kucoba memasukkan nomor peserta sekali lagi lalu mengklik tombol yang sama. Berharap hasilnya akan berpihak pada harapan, namun nihil. Namaku tak terdaftar sebagai satu di antara sekian peserta yang lolos SNMPTN. Saat itu rasanya kekecewaan, kesedihan, dan ketidakpastian untuk menjalani langkah selanjutnya semakin mencekik hingga membuatku down.

Sedangkan di timeline media sosial, semakin banyak peserta seleksi yang mengungkapkan perasaan. Sahabatku, sebagai salah satu yang berhasil, menerima banyak sekali ucapan selamat serta doa agar sukses menjalani kehidupan di kampus baru. Di situ perasaanku semakin bercampur aduk. Sisi putih hatiku menyuruh untuk mengucapkan selamat dengan perasaan paling tulus, namun di sisi hitam menyuruhku untuk diam sambil tenggelam dalam kesedihan. Untunglah aku memilih sisi putih, walau melakukannya bukan perkara yang mudah.

Untuk yang mengalami kegagalan seperti diriku, berbagai penyemangat pun datang melalui komentar dan tweet. Di antara komentar-komentar itu, ada salah satu temanku yang memberi semangat dengan mengatakan,

“Ngga usah sedih. Masih banyak jalan menuju Roma”

Kalimat sederhana itu begitu meresap dalam hati dan pikiran. Betapa dalamnya makna kata-kata itu. Namun, menabahkan diri seperti apapun, mataku terus berusaha mencari apapun yang dapat mengalihkan kesedihanku. Sambil berusaha menghindari status Facebook yang bernada euforia hasil SNMPTN, secara kebetulan aku menemukan salah satu tulisan di Facebook yang cukup menarik.

Perlu kutegaskan bahwa isi tulisan itu harus dibaca oleh siapapun yang pernah mengalami kegagalan, termasuk peserta SNMPTN sepertiku. Tulisan itu bercerita tentang seseorang yang sangat berambisi ingin menjadi awak dari roket yang akan diluncurkan untuk suatu ekspedisi ke luar angkasa. Setelah melalui serangkaian tes, ternyata ia gagal menjadi salah satu dari awak yang terpilih. Dia terus menerus mengungkapkan penyesalan mengapa orang lain yang terpilih untuk naik roket itu. Namun, belum sampai ke luar angkasa, roket yang membawa beberapa awak itu tiba-tiba meledak. Mendengar berita tersebut, orang yang gagal itu membayangkan seandainya ia menjadi orang terpilih, mungkin ia sudah tidak akan ada lagi di dunia ini. Sejak itulah, orang tersebut bersyukur pada kegagalan yang telah menimpanya.  Pada akhirnya, di lain kesempatan ia pun berhasil untuk melakukan ekspedisi ke luar angkasa dengan selamat. Cerita menyentuh tersebut diakhiri dengan kutipan yang berbunyi : “Saat ini aku kalah untuk menjadi pemenang di kemudian hari”

Senyum simpul terlukis lembut di wajahku yang dilanda kesedihan. Betapa cerita itu sangat menyentuh hati sang penerima kegagalan yang serentan tubuh bayi. Aku pun sadar, di balik munculnya cerita ini di timeline, mungkin ini semua karena Allah telah memberi penyemangat agar umatnya yang bersedih kembali bangkit untuk menjalani ritme kehidupan selanjutnya yang penuh misteri.

Aku pun menengok ke arah kamar tidur. Di dalam sana, tergeletak buku latihan SBMPTN yang sama sekali belum kusentuh sejak dibeli. Ya, benar, masih banyak jalan menuju Roma! Aku menyadari bahwa SNMPTN bukanlah satu-satunya jalan. Masih banyak jalan untuk membuatku berada di antara ribuan mahasiswa yang berhasil duduk di perguruan tinggi. Saat itu entah kenapa optimismeku berbicara bahwa bahasa dan sastra Jepang masih menungguku untuk berjuang.

Kini, kalimat “Banyak jalan menuju Roma” itu kembali muncul di grup obrolan komunitas. Namun, kali ini bukan ditujukan kepadaku, melainkan pada temanku yang tahun ini mengalami kejadian serupa. Aku hanya berharap, semoga ia tergugah dengan kata-kata penyemangat yang sudah sangat familiar bagiku sejak 3 tahun silam itu.

Lalu setelah mengalami kegagalan saat seleksi, apa yang kulakukan selanjutnya dengan buku latihan SBMPTN itu?
Baiklah, aku akan berbagi cerita di tulisan ini : http://kairistory96.blogspot.co.id/2017/05/menempuh-jalan-menuju-roma.html

You Might Also Like

2 comments

  1. Mgkn lebih memotivasi kalo dijelaskan lebih detail tentang perjuangan kamu sampai akhirnya berhasil itu kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih atas sarannya, udah aku edit sedikit, jadinya aku bakal lanjut ceritaku di post selanjutnya hehe

      Delete

Like us on Facebook

Flickr Images