Menempuh Jalan Menuju Roma

10:46 PM


…Di dalam sana, tergeletak buku latihan SBMPTN yang sama sekali belum kusentuh sejak dibeli. Ya, benar, masih banyak jalan menuju Roma! Aku menyadari bahwa SNMPTN bukanlah satu-satunya jalan. Masih banyak jalan untuk membuatku berada di antara ribuan mahasiswa yang berhasil duduk di perguruan tinggi. Saat itu entah kenapa optimismeku berbicara bahwa sastra Jepang masih menungguku untuk berjuang… (Cerita sebelumnya di http://kairistory96.blogspot.co.id/2017/04/banyak-jalan-menuju-roma.html)

Hari-hariku semakin diwarnai dengan suatu dilema yang terus berputar. Bayangkan saja, betapa anehnya ketia aku merasakan optimisme dan pesimisme secara bersamaan yang rasanya seperti berenang di garis pertemuan antara dua laut. Aku memang telah mendapat inspirasi baru untuk menempuh jalan menuju sastra Jepang di universitas negeri. Namun seoptimis apapun, bayang-bayang mengenai kegagalan selalu mengganggu pikiranku. Pasalnya, apakah mungkin siswa lulusan analisis kimia akan benar-benar berada di antara calon mahasiswa sastra Jepang lainnya? Bahkan guru BK sekolahku pun sama sekali belum menemukan kasus serupa.

Berusaha untuk menepis segala kegalauan, kucoba membuka lembar demi lembar buku latihan SBMPTN soshum yang tadi tergeletak itu. Perlahan, sembari menguatkan hati bahwa aku akan mengisi setiap nomor soal yang terlihat sangat asing bagiku. Melihat soal matematika dasar yang sepertinya belum pernah kutemui selama 3 tahun di SMK, aku semakin bertanya pada diri sendiri. Apakah ini berarti aku harus mempelajarinya sendiri, dari nol, mulai dari sekarang hingga satu bulan ke depan?

Baiklah, apa salahnya mencoba terlebih dulu. Halaman pertama di paket latihan soal bagian pertama, aku memulainya dari matematika dasar. Ya, aku tahu, soal yang kuhadapi itu bercerita tentang persamaan kuadrat, peluang, dan materi yang seharusnya sudah kupelajari. Tetapi mengapa terlihat sangat berbeda? 

Jangan dulu menyerah, masih ada mata pelajaran lain yang belum kutengok. Selanjutnya ada bahasa Indonesia. Selintas aku menjadi teringat saat menghadapi UN bahasa Indonesia, mungkin takkan beda jauh dengan saat UN. Saat aku melihat soal-soalnya, syukurlah tak ada hal asing yang kutemui. Semua masih bercerita tentang sistematika penulisan surat, memahami sebuah wacana, dan apapun yang sudah kupahami sebelumnya. Begitu juga dengan bahasa Inggris. Meskipun demikian, aku hanya kuat untuk mengisi setengah dari keseluruhan soal.

Saat membuka bagian selanjutnya yang berisi soal mata pelajaran soshum, aku memberi jeda dengan menghela nafas sejenak. Apakah bagian yang satu ini juga harus kupelajari semua, mulai dari nol? Halaman demi halaman, lembar demi lembar kubaca dengan hati-hati. Ternyata semuanya berisi sesuatu yang harus kupelajari dari nol. Sial, untuk pertama kalinya aku menyesali statusku sebagai lulusan SMK.

Merasa tak sanggup menghadapinya sendirian, aku mulai terpikir akan suatu ide. Aku harus belajar pada seseorang untuk persiapan SBMPTN. 

Bersama orang tua aku mencari informasi ke beberapa lembaga bimbingan belajar. Beberapa terlalu mahal untuk bimbingan jangka pendek, yang lainnya masih terjangkau tapi entah kenapa aku tak yakin untuk mengambilnya. Hari-hari pun masih dipenuhi oleh dilema yang sama. Akan mengalir kemanakah jalan hidupku? Apa yang harus kulakukan demi menghadapi SBMPTN?

Suatu hari, salah satu teman sekelas yang juga akan mengikuti SBMPTN mengirim sebuah SMS kepadaku. Isinya tentang bimbingan belajar bersama mahasiswa ITB. Setelah kutanya lebih lanjut, biayanya lebih terjangkau dan cukup meyakinkan karena belajar dengan mahasiswa sepertinya menyenangkan karena bisa sekalian sharing tentang kehidupan perkuliahannya. Setelah berkonsultasi dengan orang tua, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti bimbel bersama mahasiswa ITB itu. Saat mendaftar, aku hanya mengambil paket privat 5x pertemuan saja. Dalam hati kecil aku merasa dengan jumlah pertemuan itu masih jauh dari cukup. Tetapi apa boleh buat karena keuangan keluarga sedang mengalami sedikit hambatan.

Selama mengikuti kegiatan bimbel, aku hanya menguasai beberapa pelajaran saja. Di antara keseluruhan mata pelajaran, hanya bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang cukup membuatku optimis. Dari 5x pertemuan, aku sudah dua kali mengambil kelas matematika, namun tetap saja masih sulit mendapat pencerahan seputar persamaan kuadrat dan sebagainya. Beruntunglah mata pelajaran IPS bisa dikuasai terkecuali ekonomi yang terdapat banyak sekali hal-hal membingungkan di dalamnya. Huh, memang tidak mudah ya menjadi anak SMK yang banting stir dengan segala keterbatasannya.

Hari yang ditunggu oleh para pejuang SBMPTN akhirnya datang juga. Hanya bermodalkan alat tulis, kartu peserta dan satu buah buku bank soal, aku tiba di tempat ujian yang jaraknya jauh dari rumah. Aku menunggu jam dimulainya ujian di luar kelas bersama dengan peserta lain. Melihat wajah-wajah peserta ujian, aku mencoba menerka apakah ada di antara mereka yang banting stir sepertiku? Dan sudah sejauh apakah persiapan mereka untuk bertempur di hari ini? Pertanyaan yang tak pernah terjawab itu keburu sirna bersamaan dengan bel tanda ujian dimulai.

Lembar jawaban beserta paket soal pertama telah tiba di meja masing-masing peserta tepat pukul 10 siang. Aku membaca doa sembari meneguhkan hati untuk menghadapi soal mata pelajaran dasar (matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan tes potensi akademik). Setelah cukup tenang, kubuka lembar pertama soal itu. Rupanya aku sudah disambut oleh mata pelajaran hitung yang sudah menjadi momok bagi hampir semua pelajar di Indonesia. Baru menghadapi 4 soal pertama, matematika yang kuanggap sebagai monster utama ujian dasar ini telah membantaiku hingga tak sanggup mengerjakan soal selanjutnya.

Lebih baik aku melarikan diri ke mata pelajaran selanjutnya. Bahasa Indonesia yang tampak lebih ramah itu membuatku lebih percaya diri untuk membaca wacananya satu persatu. Begitu juga dengan bahasa Inggris, bisa dibilang 95% dari soal kedua mata pelajaran itu berhasil kuisi dengan teliti. Sebagai penutup mata pelajaran dasar, aku menghadapi tes potensi akademik yang ternyata cukup menguras otak. Hingga menit-menit terakhir, aku bahkan tak menengok kembali soal matematika. Sudah, biarkan saja hanya terisi 4 nomor daripada memaksakan diri mengisi semuanya sambil bertaruh antara poin minus atau plus.

Ujian dasar pun berakhir begitu bel tanda istirahat berbunyi. Seperti saat sebelum masuk kelas, aku kembali membuka buku latihan soal. Kali ini aku hanya membaca-baca bagian pelajaran IPS, termasuk ekonomi yang selalu menjadi misteri itu. Tak peduli dengan peserta lain yang memilih keluar kelas tanpa membaca buku apapun, aku tetap diam di kelas sambil berusaha mengingat apa saja yang telah dipelajari selama bimbel.

Setengah jam kemudian, seluruh peserta kembali bersiap untuk menghadapi ujian selanjutnya. Apakah nanti aku akan langsung bertemu monster seperti saat menghadapi matematika tadi? Kembali meneguhkan hati, lembar pertama paket soal soshum kubuka secara perlahan.

Untunglah, ternyata soal pertama yang kuhadapi itu adalah geografi. Monster bernama ekonomi itu ditaruh di bagian cukup akhir. Sebagai orang yang mempelajari IPS hampir dari nol, aku menghadapi ujian dengan tiga strategi sekaligus. Strategi pertama, soal kuisi berdasarkan pengetahuan dari pembahasan soal dan penjelasan pengajar bimbel. Strategi kedua, menemukan jawaban dari mencocokkan teori satu dengan yang lainnya. Strategi ketiga, atau yang kusebut strategi paling berbahaya, yaitu mengandalkan intuisi saat menjawab.

Setelah ujian berakhir dan tiba di rumah, orang tuaku membanjiri pertanyaan seputar ujian itu. Meski banyak menghadapi monster selama ujian, aku berusaha memperlihatkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Namun setelah itu aku tak berani banyak berkomentar karena aku pun masih bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah usahaku selama ini akan berpihak pada harapan atau tidak.

Untuk sekedar menghibur diri, aku membuat post di Instagram berisi grid foto tulisan kanji dan buku berbahasa Jepang. Foto tersebut kusertai caption : “Menyongsong masa depan… INSYA ALLAH SASTRA JEPANG IM COMING SOON!!!”. Setelah di-post, aku merasa sedikit lega meski sambil berusaha mengalahkan segala ketidakpastian. Sebagai penenang, orang tuaku telah mencarikan beberapa brosur dari perguruan tinggi swasta yang bisa menampung calon pembelajar sastra Jepang. Mungkin salah satu di antara perguruan tinggi itulah yang akan menerimaku bila menemui kegagalan lagi.

Sesudah kurang lebih 3 minggu melewati hari-hari yang tak pasti, ternyata sudah saatnya aku menghadapi hari dibukanya hasil seleksi. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, timeline Facebook tak hanya dipenuhi status bernuansa Ramadhan, tetapi juga doa para pejuang SBMPTN. Status-status tersebut terus bermunculan hingga sore hari.

Kalau tidak salah pada pukul 3 sore, website hasil SBMPTN sudah bisa diakses. Dengan berdebar-debar aku membuka web melalui smartphone. Sial, entah kenapa koneksi internet saat itu sedang buruk sekali sehingga sudah sekitar 1 jam dicoba masih tetap nihil. Sambil menggerutu karena koneksi yang payah, aku pun pergi bersama sepupu ke warnet milik saudaraku. Untungnya website bisa dibuka, dan aku langsung mengisi nomor peserta di website dan mengantarkanku pada laman berisi…

Selamat, Anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN 2014

Anda diterima pada Program Studi berikut : 
362161 – SASTRA JEPANG, UNIVERSITAS PADJADJARAN

Menyalurkan euforia luar biasa, aku berteriak kegirangan setelah membaca hasil yang tertera. Sepupuku berusia 5 tahun yang duduk di samping pun menjadi sasaran pelukan bahagia. Sebelum pulang dan mengabari orang tuaku secara langsung, dalam keadaan masih merinding saking bahagianya, aku membuat status di Facebook yang berisi bahwa aku berhasil masuk sastra Jepang di universitas negeri, yang selanjutnya tentu saja dibanjiri komentar positif berisi ucapan selamat beserta doa.

Mendengar kabar bahagia dariku, orang tua beserta anggota keluarga besar memberi ucapan selamat atas keberhasilanku. Mereka sama sekali tak menyangka lulusan SMK jurusan analisis kimia sepertiku telah berhasil banting stir ke bidang yang memang sangat kuminati. Pada akhirnya, belenggu bernama kekhawatiran dan ketidakpastian telah hancur sepenuhnya, dan aku pun dapat menikmati hari-hari penuh kebahagiaan sambil menanti apa yang harus kulakukan selanjutnya.

Dari kisah perjuanganku menghadapi SBMPTN, dapat dipetik berbagai hal positif di dalamnya. Kalimat yang cukup klasik, tapi usaha memang tak akan mengkhianati hasil. Walau dengan modal seminim mungkin, asalkan berusaha keras pasti tak membuat jalan untuk sukses itu tertutup sepenuhnya. Selain itu, bila kita memiliki tekad kuat untuk membidik satu tujuan, kita pasti mungkin meraihnya tak peduli kekurangan apa yang dimiliki. Dengan tekad yang kuat, bahkan dapat mengantarkan lulusan analisis kimia sepertiku duduk dengan sesama mahasiswa sastra Jepang hingga kini.

Dan untuk adik-adikku yang sedang berjuang untuk menghadapi SBMPTN, tetap semangat, terus kikis pesimisme yang tumbuh seperti rumput liar. Jangan pernah kalian takut pada monster bernama kegagalan. Kalian harus tahu bahwa kesalahan yang paling besar bukanlah kegagalan, tetapi adalah berhenti dan menyerah sebelum merasakan keberhasilan. Bila kalian memiliki kekurangan tertentu yang menghalangi kalian untuk menghadapi SBMPTN, jinakkan kekurangan itu hingga berubah menjadi pengantar kalian menuju kesuksesan. Seperti pepatah yang sempat kusinggung di cerita sebelumnya, banyak jalan menuju Roma, dan kalian pun pasti dapat menempuh jalan menuju Roma. Setelah SBMPTN, kutunggu kisah kalian nanti!

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images