Langkah Menjemput Sang Matahari Terbit

7:03 AM


“Memang benar ya, cita-cita itu harus selalu diucapkan sebagai salah satu sugesti terwujudnya cita-cita itu…”

Aku tahu, aku sudah gagal menggenggam peluang yang lebih besar untuk pergi ke Negeri Sakura. Namun aku tetap berusaha meyakinkan diri bahwa masih ada jalan lain yang dapat kutempuh meski tak jarang hati dan pikiran ini kualihkan dari rasa dengki pada mereka yang beruntung telah menggenggam peluang itu. Aku selalu memberi sugesti pada diri yang berbunyi, “Pasti banyak kok jalan buat ke sana, lagian udah banyak orang terdekat kamu yang udah pergi ke sana”. Selain itu, nasihat dan semangat dari sahabat-sahabatku juga selalu terbayang-bayang dalam kepala. Kegagalan itu akan membuat kamu terpacu untuk berusaha lebih keras lagi, begitu kata mereka.

Suatu hari, aku telah membidik salah satu peluang yang dapat memberangkatkanku ke Jepang. Peluang itu berada di balik nama “NBIP” yang merupakan program internship di sana. Ah, aku jadi ingat pernah ditawari shachou (manager perusahaan) untuk ikut program tersebut, dan kini aku menjadi tertarik untuk ikut seleksinya. Tetapi, aku berniat mengikuti seleksi tanpa sepengetahuan orang tuaku mengingat mereka masih cukup sulit untuk melepasku ke tempat yang begitu jauh, meski hanya sementara waktu.

Untuk itu, aku berjuang membuat esai sebagai persyaratan pertama seleksi. Esai tersebut intinya berisi tentang motivasiku mengikuti program magang dan apa yang akan kudapatkan dari kegiatan magang. Tulisan itu tentu semuanya berbahasa Jepang. Karena masih belum percaya diri dengan kemampuan menulisku dalam bahasa Jepang, akhirnya aku meminta bantuan beberapa orang untuk mengedit hasilnya. Mulai dari senior yang sama-sama belajar di Sastra Jepang hingga kenalan orang Jepang kujadikan editor dadakan demi esai yang berkaitan dengan bidang bisnis ini. Berkat berbagai perbaikan dan masukan, esaiku lolos dan aku dapat mengikuti wawancara tahap 1.

Sambil membawa api penyemangat dari teman-teman dan harga diri, kakiku melangkah untuk menghadapi wawancara tahap 1. Saat itu hari Minggu, tepatnya sehari setelah kepulanganku dari desa tempat KKN, masih dalam keadaan lelah karena perjalanan cukup panjang. Punggung yang tertutup oleh setelan blazer hitam dan kemeja ini berusaha untuk tetap duduk tegap, menahan kantuk yang mendera. Begitu juga dengan keempat teman sejurusan yang ternyata mengikuti seleksi. Saat giliranku tiba, aku mencoba menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, meski dengan bahasa Jepang yang cukup terbata-bata. Wajar saja, kapan aku berkesempatan untuk melatih percakapan bahasa Jepangku selama di tempat KKN?

Karena merasa wawancara tadi tidak begitu memuaskan, harapan bahwa aku akan maju ke seleksi tahap 2 perlahan sirna. Pesimisme ini tak hanya mengganggu pikiranku, tapi juga teman-temanku. Apalagi saat melihat pesaing lain yang terlihat sangat siap. Aku pun hanya pasrah dan tak terlalu berharap mendapat pemberitahuan lolos wawancara dari penyelenggara.

Tanggal 8 Februari 2017, tanggal di mana akan menjadi penentuan lolos atau tidaknya aku ke tahap selanjutnya. Meski berusaha untuk tidak memikirkannya, tetap saja tidak bisa karena dalam diriku sedang terjadi perang batin antara pesimisme dengan optimisme yang terus berlangsung. Ketika salah satu temanku mengabari bahwa ia juga tidak mendapat kabar apapun meski sudah menjelang sore, aku pun pasrah dan membiarkan sang pesimisme memenangkan perang ini.

Namun ketika jam menunjukkan pukul 3 sore, sebuah pesan singkat masuk. Pesan itu berisi bahwa aku lolos wawancara tahap 1 dan diharuskan untuk menyiapkan presentasi yang akan dijelaskan lebih lanjut lewat email. Betapa melonjaknya hatiku karena sang optimisme berhasil menumpas pesimisme!

Setelah melihat email, aku langsung menggarap materi happyou (presentasi) untuk seleksi tahap 2. Sekali lagi, aku meminta bantuan senior kenalanku untuk mengedit konten presentasi selain mencari referensi di internet mengenai presentasi dalam bahasa Jepang.  Tak hanya mengedit, ia juga membantuku saat latihan membawakan presentasi. Meski terasa sulit, aku terus berusaha menguasai materi presentasi hingga hari H tiba.

Ketika di tempat pelaksanaan seleksi, aku bertemu dengan 7 orang peserta yang juga bersetelan formal. Uniknya, meski saling berkompetisi kami melakukan berbagai cara untuk mencairkan ketegangan sebelum menghadapi presentasi. Mengobrol kesana kemari, berfoto, bahkan melakukan video call dengan orang Jepang pun kami lakukan. Setelah semua selesai happyou, kami pun berfoto bersama sebelum pulang. Karena belum puas mencurahkan segala ketegangan, aku pun mengajak salah satu temanku untuk hang out sambil curhat tentang seleksi hari ini.

Tak terasa sudah dua hari setelah seleksi presentasi. Selama menunggu kepastian lewat email, tak henti-hentinya aku uring-uringan di kasur, mengungkapkan kegalauan pikiran secara acak. Kasihan melihatku galau terus menerus, sahabatku yang kebetulan berkunjung ke rumah berusaha untuk menenangkanku. Ia berkata bahwa manusia itu harus memenuhi tiga hal dalam hidupnya, yaitu eksistensi diri, cinta, dan ketuhanan, dan kini aku sedang membutuhkan yang pertama. Eksistensi diri, rupanya pergi ke Jepang itu adalah salah satu cara memenuhi eksistensi diri. Nasihat yang sungguh menggugah, hingga dapat menenangkanku sejenak.

Bahkan hingga matahari hendak bersembunyi ke ufuk barat, email sama sekali belum masuk ke ponselku. Pesimisme yang bergulat dalam diri ini semakin menjadi dan terus menghasut bahwa aku memang tak menjadi bagian dari 6 orang peserta internship.

Daripada berputar-putar dalam hal yang belum pasti, aku memutuskan untuk pergi berobat ke klinik bersama orang tua mengingat demamku yang belum kunjung sembuh. Dalam perjalanan menuju klinik, pikiran-pikiran negatif tentang hasil seleksi internship kutepis sekuat mungkin.

Aku tiba di klinik pukul setengah 6 sore. Kebetulan sekali klinik tidak terlalu ramai, jadi aku hanya menunggu giliran berobat setelah satu orang pasien saja. Namun ditepis sekuat apapun, tetap saja aku penasaran dan terus menerus menatap ponsel, menunggu tanda amplop muncul di layar. HP-ku yang biasanya dalam mode silent, sengaja kuubah menjadi mode getar agar notifikasi apapun cepat diketahui.

Tangan kananku yang menggenggam ponsel tiba-tiba merasakan sebuah getaran halus. Selang beberapa detik sebelum benar-benar melihat notifikasi, aku menyangka bahwa itu hanyalah pesan baru dari LINE atau Facebook sampai akhirnya…

Northern Lights Education Center
-Pengumuman NBIP-
Selamat sore, sekali lagi kami ucapkan SELAMAT kepada Anda yang telah terpilih berangkat ke Jepang dalam program NBIP 2017. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain…”

Andai saja pesan ini masuk saat sahabatku masih berkunjung, tentu aku akan melompat-lompat kegirangan, tak peduli temperatur tubuhku masih cukup tinggi. Andai saja pesan ini masuk saat aku masih memaksakan diri untuk stay di kampus hingga sore, mungkin aku akan memeluk teman-temanku di sana dalam euphoria. Mungkin saja aku akan menangis dalam pelukan mereka. Namun karena situasinya berbeda, aku tak bisa melakukan semua itu di sini, apalagi aku belum tahu respon dari orang tuaku nanti.

Karena tidak tahan memendam euphoria yang luar biasa ini, aku diam-diam menelepon beberapa teman. Saat mendengar kabar baik dariku, mereka terdengar sangat senang dan tak henti-hentinya memberi ucapan selamat. Bila tak sanggup menahan diri, aku bisa-bisa histeris di tempat karena tak jarang air mata terasa memenuhi pelupuk mata. Untungnya hal itu tak terjadi hingga aku pulang dari klinik. Setelah mengabari teman-teman, tugas yang tertinggal hanya memberi tahu kedua orang tuaku. Hal itu mau tidak mau harus kulakukan, tak peduli respon apa yang akan mereka berikan.

Sesampainya di rumah, aku masih belum menemukan cara yang tepat untuk memberitahu mereka. Namun bila kupikir-pikir lagi, tidak baik juga menunda-nunda suatu hal yang positif. Diawali dengan basmalah, aku pun mulai membicarakan hal itu kepada kedua orang tuaku. Dan hasilnya adalah…

“Wah, bagus dong kalo gitu, Papa dukung lah”

“Kenapa ngga bilang dari pas awal pengumuman? Hebat kamu, Mama sampe kaget kamu bisa ke Jepang!”

Melihat senyum positif mereka, di depan mataku seolah-olah seantero Negeri Sakura di musim panas dan senyuman sahabat berdarah asli Jepang telah tergambar begitu jelas. Tangisku pecah, haru bercampur gembira mewarnai suasana menyambut suka cita tergapainya cita-cita. Saat itu pula ruang tengah menjadi ramai dengan cerita dari awal seleksi esai hingga presentasi tahap akhir. Mereka pun sempat kaget dengan kenekatanku mengikuti seleksi tanpa sepengetahuan mereka.

Lalu mengapa mereka yang selama ini kukhawatirkan tak akan mendukung ternyata mendukungku pergi ke Jepang? Kedua orang tuaku ternyata tidak masalah untuk melepasku barang satu bulan karena mereka mempertimbangkan betapa pentingnya pengalaman internship itu. Oleh karena itu, hatiku menjadi sangat lega.

“Memang benar ya, cita-cita itu harus selalu diucapkan sebagai salah satu sugesti terwujudnya cita-cita itu,” ujar Mama di tengah-tengah ramainya percakapan, “Kalau seseorang yakin bisa mewujudkannya, Allah pasti akan membukakan jalan. Seperti kamu sekarang ini”

Kata-kata itu benar-benar menggugah hati dan menyadarkanku pada banyak hal. Ya, benar, bila aku tidak yakin dan serius dalam meraih cita-cita, aku tak akan sampai di jalan yang telah dibukakan oleh Allah. Keseriusan meraih cita-cita itu bisa dimulai dari hal kecil, seperti saat aku menuliskannya untuk resolusi tahun baru. Dan siapa sangka resolusi itu bisa tercapai tepat di tahun yang ditargetkan.

Untuk selanjutnya, aku hanya mengurus paspor, visa, dan asuransi perjalanan. Karena akomodasi dan transportasi sudah ditanggung pihak perusahaan penyelenggara internship, aku tinggal membawa uang saku. Siapa tahu mau beli macam-macam merchandise King of Fighters series dan oleh-oleh lainnya (hehe).

Sebelum kututup tulisan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan kedua orang tuaku, Teh Linda yang dengan sukarela mau menjadi editor esai dan mentor latihan presentasiku. Kak Fahmi dan Hanana-san yang memberi masukan-masukan untuk konten esaiku, Dessy dan Mia, para Srikandi yang tak henti-hentinya menyemangatiku, para sahabat N2CD yang selalu mendoakanku, Novi, Erin, dan Icha-senpai, teman KKN yang selalu mendengar curhatanku dan memberikan support, Kak Andara yang memberi advice tentang wawancara kerja dan pengurusan berkas untuk ke mancanegara, dan sensei–tachi di Sastra Jepang UNPAD yang memberi dukungan berupa ilmu yang bermanfaat. Juga teman-teman sekalian yang telah memberi ucapan selamat beserta doa agar aku diberi kelancaran pada saat magang nanti.

NB : Oh iya, aku juga akan menulis beberapa postingan dengan hashtag #KairiGoesToJapan yang berisi cerita dari persiapan hingga pengalamanku saat internship selama musim panas di Jepang. Segera!

You Might Also Like

3 comments

  1. Terharu kak aku bacanya, jadi pingin ke sana juga tapi skill sastra Jepang masih amatir banget xD
    Oh ya kak, ngurus paspor susah ya?

    ReplyDelete
  2. yaampun ... kenapa blm masuk juga komenku -,-

    Jadi aku salut sama Kairi yang berani naik densha sendiri ... Aku cuma berani sepedaan sama naik bus aja :v

    Orang Jepun baik2 ya, kalo kita lewat dianya nyapa ...
    Sayang aku gak ngerti bahasa Jepun, jadi cuma angguk, geleng sama campur bahasa Inggris :v

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Flickr Images