Berbagi Ilmu Kepenulisan Novel Bersama Orizuka (Part 1)

7:24 PM

Sejak aku menetapkan minat di bidang kepenulisan di samping bahasa dan budaya Jepang, aku menjadi sering mencari informasi tentang seminar atau acara apapun berkaitan dengan minat tersebut. Semakin sering aku meluangkan waktu di acara-acara tersebut, semakin banyak yang kupelajari. Dan masing-masing telah menorehkan kesan di samping ilmu baru yang diperoleh.

Kali ini, aku akan menceritakan pengalamanku menjadi peserta di acara “Kelas Menulis Novel” dengan Kak Orizuka sebagai pemateri. Penulis novel teenlit yang telah meluncurkan lebih dari 20 karya itu membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin belajar menjadi seorang penulis dan tidak ditarik biaya sepeserpun. Acara tersebut diadakan di Rumah Baca dan Belajar Horizon yang dikelola oleh Kak Orizuka sendiri.

Kelas menulis novel ini direncanakan akan dibuka sekali dalam sebulan, dan aku sudah menjadi peserta dua kelas berturut-turut pada bulan Oktober dan November. Dalam tulisan ini, aku akan menceritakan pengalamanku selama mengikuti kelas pertama terlebih dahulu.

Pada saat acara akan dimulai, aku sudah merasakan ada sesuatu yang berbeda. Pertama, jumlah peserta tak se-“wah” ekspektasiku tentang sharing kepenulisan. Yang hadir saat itu hanya sekitar 10 orang dan kesemuanya adalah perempuan dari usia SD hingga yang sudah bekerja. Dengan “eksklusif”nya pertemuan, aku merasa peserta lebih mudah untuk dekat dengan pemateri. Dan jujur saja itu yang membuatku nyaman selama di acara ini.

Kelas pertama dibuka dengan materi tentang motivasi menulis. Kak Orizuka menjelaskan bahwa penulis bebas menentukan motivasi menulisnya, entah itu karena hobi, renjana (passion), atau bahkan untuk urusan komersial. Apapun itu motivasinya, yang penting bisa mendorong penulis menyelesaikan karyanya hingga akhir. 
Saat sesi pertama sharing di bagian luar taman bacaan (btw aku yang memakai hijab coklat tua dan jaket denim)

Lalu bahasan selanjutnya adalah genre. Genre ditentukan berdasarkan target pembaca, bukan usia tokoh. Meski tokoh tergolong dewasa, selama konfliknya masih ringan dan psikologis karakter tidak terlalu dalam, ia masih termasuk teenlit. Selain itu, penentuan genre harus berdasarkan klimaks dalam cerita. Misalnya bila klimaksnya tentang masalah percintaan, berarti genre-nya adalah romance.

Dan di sini Kak Orizuka menegaskan bahwa baik penulis maupun pembaca harus bijak dalam memandang genre. Pembaca tidak bisa men-judge penulis tidak kompeten dalam membuat suatu karya hanya karena genre yang diangkat penulis tersebut tidak cocok dengan yang disukai pembaca. Contohnya, pembaca yang terbiasa membaca novel horor dewasa tidak bisa serta merta menyebut novel horor remaja sebagai karya yang murahan dan dangkal. Begitu juga penulis harus bisa menyesuaikan karyanya sesuai dengan kebutuhan target pembaca maupun aliran cerita agar diterima dengan baik oleh pembaca.
Saat sharing di dalam taman bacaan. Banyak koleksi buku mulai dari buku untuk anak-anak hingga dewasa  

Selanjutnya mengenai ide. Seorang penulis harus rajin mencari ide, bukan menunggunya terus menerus. Dalam menulis sebuah karya, bukan berarti penulis harus memiliki ide yang orisinalitasnya sangat absolut. Karena pada hakikatnya, ide selalu berasal dari sesuatu yang sudah ada. Dengan kata lain, banyak proses recycle dalam menentukan ide. Justru yang paling dibutuhkan adalah gaya menulis yang otentik. Di sini Kak Orizuka merekomendasikan buku “Steal Like an Artist” karya Austin Kleon sebagai sarana untuk menentukan ide.

Kemudian kami diminta Kak Orizuka untuk memikirkan genre, tema, dan premis novel yang akan kita buat, lalu mempresentasikannya berikut dengan sinopsisnya. Ketika diminta begitu, aku langsung terpikir akan project novel yang sedang berjalan saat ini. Dan inilah catatan kecil mengenai project-ku :

Judul : Renaissance
Genre : Young-Adults, Drama, Romance
Tema : Perjuangan meraih ambisi
Premis : Dua orang yang memiliki ambisinya masing-masing dan dipertemukan hingga memiliki ketertarikan, namun harus saling bertentangan karena prinsip yang memisahkan mereka.

Novel yang sedang kurancang ini akan kubuat memiliki sudut pandang orang pertama dari dua tokoh sekaligus. Namun Kak Orizuka memintaku untuk memilih salah satu tokoh yang paling dominan untuk menentukan alur cerita. Dan setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya aku berhasil menemukan sudut pandang tokoh mana yang paling dominan.

Jadi begitulah ceritaku mengenai kelas menulis novel pertama. Banyak sekali hal positif yang kudapatkan, salah satunya adalah dapat sharing lebih dalam tentang kepenulisan bersama penulis yang sudah mendapat banyak penghargaan atas karya-karyanya. Yah, anggap saja sharing project novel bersama Kak Orizuka ini sebagai bimbingan “skripsi” keduaku.

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images