Magnet dari Izanagi dan Izanami

2:26 AM



“Kalau udah pernah satu kali pergi ke Jepang, pasti bakal ada kesempatan buat ke sana lagi.”

Begitulah sepercik percakapanku beberapa tahun silam dengan salah satu kakak tingkat di jurusan Sastra Jepang. Mungkin sah saja kuanggap mitos karena perkataan itu bukan teori dari penelitian mendalam. Tapi di sisi lain, boleh juga kuanggap fakta karena sudah terbukti melalui beberapa orang terdekat. Termasuk aku yang mengalaminya sendiri.

Beruntungnya aku masih diberi umur untuk menghirup udara Nagoya oleh Sang Pencipta. Dan beruntungnya lagi ketika aku dipertemukan dengan orang-orang yang menyambutku dengan baik. Sepintas memang biasa saja, hanya disambut oleh mahasiswa Jepang dan supir penjemput. Tapi di situlah kejutannya. Sebelumnya aku tak menyangka akan dijemput menggunakan mobil mengingat tahun lalu aku naik dan berganti kereta beberapa kali dari bandara hingga penginapan. Jadi aku tak perlu khawatir menyeret maupun mengangkat koper yang berat di tengah pengapnya zansho (sisa udara pengap di musim panas).

Aku bersama dua mahasiswa asal Jerman dan Turkmenistan diantar menuju asrama masing-masing. Untuk pertama kali aku naik mobil di Jepang dan melihat langsung lalu lintas di jalan tolnya. Kukira jalan tol menuju kota Nagoya akan banyak dikelilingi gedung tinggi dan pabrik besar mengingat letaknya dekat dengan Toyota, kota otomotif tersohor. Ternyata proporsi pemandangan bukit dan pesawahannya tak kalah bersaing dengan perkotaan.

Setelah keluar dari tol, aku langsung disambut oleh jalan raya yang didominasi oleh tanjakan dan turunan. Jalan raya menuju asrama sudah seperti melewati jalan menuju Dago Atas, dan jalan kecil menuju perumahan pun sama seperti kebanyakan daerah Bandung Timur, rindang oleh deretan pohon dan menanjak. Meski tanpa kerusakan jalan dan kemacetan akibat membludaknya kendaraan pribadi.
Sepanjang perjalanan, aku menyadari bahwa Nagoya itu kota yang cukup ramah dan memiliki aura keluarga, terlihat dari banyaknya orang tua dan anak-anaknya yang berjalan-jalan di sekitar kota. Berbeda dengan Tokyo yang didominasi oleh mahasiswa dan pekerja yang dari wajahnya saja sudah terlihat serius mengejar target masing-masing.

Sebenarnya ini tak terlalu penting, tapi pemandangan anak-anak SD yang berjalan dengan ceria sambil membawa randoseru (ransel) yang menggembung di punggungnya, meninggalkan suatu perasaan terkesan. Mungkin karena nostalgia masa SD menghampiri, atau mungkin karena lega melihat mereka sama sekali tak gentar berjalan di tengah keramaian kota tanpa didampingi orang tuanya.

Nagoya ini bagaikan transisi. Suasananya tak terlalu metropolis seperti Tokyo dan tak dapat pula dikatakan pedesaan seperti Aomori. Jumlah pelajar maupun pekerjanya cukup seimbang. Secara geografis pun ada pesisir maupun dataran tinggi. Mungkin boleh bila kukatakan sebagai perpaduan antara Bandung dan Yogyakarta.

Sesampainya di asrama Nagoya Koryu Kaikan (NKK), aku sama sekali tak keluar demi memulihkan rasa lelah. Untungnya jet-lag yang menyerang tak sekejam saat di Tokyo tahun lalu. Rasa lelahnya hampir sama seperti naik kereta dari Bandung ke Yogyakarta. Jadi aku masih cukup bersemangat mengeluarkan barang bawaan dari koper dan ransel lalu memasang sprei kasur. Satu misi pertama begitu tiba di Jepang untuk kedua kalinya.

Untuk kedua kalinya…

Saat kata-kata itu semakin membayangi isi kepalaku di malam hari, aku semakin percaya bahwa Izanami dan Izanagi telah menyematkan magnet misterius pada Negeri Sakura. Dengan tibanya aku di Nagoya, magnet itu seolah berhasil membuatku tak cukup mengunjungi negeri ciptaannya sekali saja. Mungkin perkataan kakak tingkatku itu suatu saat boleh kutarik sebagai teori yang telah terbukti kebenarannya.

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images