Kepergian Penuh Intrik
5:46 PM
もし願い叶うなら
もう一度花咲かせて
今なら君の悲しみもきっと
受け止められるから
Moshi negai ga kanau nara
Mou ichido hana sakasete
Ima nara kimi no kanashimi mo kitto
Uketomerareru kara
Seandainya keinginanmu terkabul
Izinkanku untuk membuat bunga mekar kembali
Kesedihanmu pada saat ini pun
Pasti akan mereda
(Song For... - Rookiez is Punk'D)
今なら君の悲しみもきっと
受け止められるから
Moshi negai ga kanau nara
Mou ichido hana sakasete
Ima nara kimi no kanashimi mo kitto
Uketomerareru kara
Seandainya keinginanmu terkabul
Izinkanku untuk membuat bunga mekar kembali
Kesedihanmu pada saat ini pun
Pasti akan mereda
(Song For... - Rookiez is Punk'D)
Kisah ini pada awalnya hanya ingin kukenang
dalam diam, tapi karena ada salah satu sahabat yang memintaku menceritakannya
kembali, jadi aku memutuskan untuk menulisnya.
Pagi
di 6 September 2018, adalah pagi terakhirku di Indonesia pada tahun ini. Ketika
menjelang malam pun akan menjadi malam terakhir menghirup udara Indonesia.
Bagi
aku yang tak pernah sekalipun melakukan perjalanan ke luar kota sendirian,
pergi ke luar negeri sendirian adalah hal cukup besar dalam hidupku. Dan lagi, tinggal
di negeri orang dalam waktu 9 bulan adalah hal cukup mengejutkan untukku.
Orang
tuaku juga baru pertama kali menghadapi hal seperti ini. Kalau dipikir lagi, keikhlasan
mereka membiarkanku mengalami fase hidup yang besar dan mengejutkan itu adalah
suatu keajaiban. Bayangkan saja, orang tua yang tak pernah mengizinkan anak
tunggalnya pergi ke Jakarta sendirian ini rela melepas anaknya pergi ke Negeri
Sakura yang berjarak beberapa ribu kilometer. Aku membayangkan betapa beratnya ketika
mereka harus mengalami perpisahan yang cukup berat dengan orang terdekat.
Kala
membolak-balik bukti pemesanan tiket penerbangan Thai Airways menuju Nagoya, perasaan
khawatir mulai menggangguku. Aku khawatir akan terserang homesick sejak bulan pertama seperti yang pernah dialami orang
terdekatku. Bersamaan dengan itu, muncul pula rasa takut akan hal misterius
yang mungkin saja terjadi sepanjang perjalanan. Ah, paling sewaktu transit di Thailand lebih banyak mengikuti arahan
dari petugas bandara jadi takkan ada masalah. Tapi nanti akan berbagi perasaan pada siapa bila terjadi sesuatu di bandara.
Kedua perasaan itu terus berperang mengisi waktu-waktu kosongku.
Tapi
aku sadar aku harus keluar dari zona nyamanku. Meski aku tahu sebenarnya kota
tempat tinggalku diberkahi dengan fasilitas yang praktis, institusi pendidikan
yang baik, dan faktor lainnya yang cukup menunjang kehidupanku sejak kecil, tapi
rasanya masih belum cukup. Aku masih harus hijrah demi melihat dunia lebih luas
lagi, karena rasanya hidup itu akan terasa percuma bila hanya mengintip dunia
melalui satu lubang saja.
Dan ada
lagi alasan sederhana yang mendorongku berani (lebih tepatnya nekat) pergi ke
Jepang sendirian adalah demi sepotong cerita membanggakan yang akan kuperdengarkan
pada anak cucu kelak.
Perjalanan
menuju Bandara Soekarno-Hatta dari pukul 8 pagi hingga 1 siang cukup membuatku
mengantuk, reaksi yang sangat biasa bagi orang yang akan menghadapi pengalaman
mendebarkan. Entah kenapa aku tak begitu tersiksa oleh kekhawatiran seperti
pada hari sebelumnya. Mungkin karena saat membereskan barang bawaan aku sudah cukup
tenang karena tak ada yang dirasa kurang.
Sekitar
3 jam lamanya aku menunggu waktu check-in
sambil mengobrol dengan orang tua dan sahabatku yang ikut mengantar. Beberapa
jepretan foto pun turut mengabadikan beberapa raut wajah ceria yang saling
menyembunyikan kecamuk hati. Jepretan itu kelak akan mampu menghibur hati insan
yang dilanda perasaan rindu.
Rentang
waktu 2 jam sebelum boarding pass,
orang tuaku semakin memantapkanku dengan nasihat-nasihat yang sebetulnya sudah
sering dititipkan dari jauh hari. Kala itu, sahabatku tak banyak bicara, tapi
aku tahu ia seperti sedang menyiapkan kata-kata yang tepat untuk waktu yang
tepat.
Saat
tiba waktunya boarding pass, untuk
pertama kalinya aku melihat tangan-tangan mereka yang kuat begitu berat
melepasku, mata mereka pun tak cukup kuat menahan derasnya ungkapan kesedihan
melepas kepergianku, dan mulut mereka yang biasanya semangat dalam berkata-kata
pun bagaikan tercekat hingga enggan mengeluarkan sepatah kata. Hanya sepatah
doa yang mereka rangkum beberapa saat sebelum aku melangkah. Dan ketika mereka
semakin jauh di belakang, gejolak dari dalam hati mulai mendorongku melepas air
yang menggenang di pelupuk mata. Aku sudah tak sanggup lagi menoleh ke belakang
meski aku tahu mereka berharap dapat menatap wajahku lebih lama, sebelum menahan
diri hingga kepulanganku tahun depan.
Dari
perpisahan yang menyesakkan ini, di sisi lain aku berterima kasih atas banyak hal. Aku ingin
berterima kasih atas keajaiban yang membuatku berani menghadapi semua ini
sendirian, juga atas ikhlasnya orang-orang melepasku agar dapat melihat dunia
yang lebih luas.
Langkahku menuju boarding pass, mungkin bersamaan dengan para
calon pembelajar bahasa Jepang di seluruh dunia yang juga bertolak menuju
Nagoya. Jadi aku tak perlu takut, karena secara tidak langsung aku melangkah
bersama mereka, meski di tempat dan zona waktu yang berbeda.
Dan biarkan Soekarno-Hatta,
Suvarnabhumi, dan Chubu menjadi saksi titik balik kemandirianku.
0 comments