Berbagi Ilmu Kepenulisan Novel Bersama Orizuka (Part 4)

7:33 PM

(Part 3 : https://kairistory96.blogspot.co.id/2018/02/berbagi-ilmu-kepenulisan-novel-bersama_27.html)

Foto bersama Kak Orizuka dan peserta kelas menulis lainnya setelah berdiskusi (btw aku yang memakai kerudung berwarna kuning)


Memasuki kelas menulis novel yang “keempat”, aku semakin sadar betapa banyak hal yang telah dipelajari bersama Kak Orizuka. Mulai dari tema hingga yang semakin dalam seperti yang akan diangkat pada tulisan ini.

Sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya, tulisan ini akan memaparkan poin-poin yang bisa dibilang cukup “memanasi” para penulis novel pemula untuk memulai kiprahnya.

Langsung saja, materi pertama adalah tentang bab pertama. Tetapi jangan langsung teringat bab pertama pada Tugas Akhir, yang satu ini dapat digarap dengan cara yang lebih menyenangkan. Percayalah!

Bab pertama ini bisa dibilang semacam first impression karya di mata pembaca. Menurut Kak Orizuka, kalimat pembuka pada bagian ini harus mengunakan kalimat yang catchy dan mudah dicerna (sebagai contoh : novel Lovely Bounds). Selebihnya tentu saja membawa cerita pada pengenalan karakter, setting, dan aspek lain dalam cerita.

Merasa bab pertama akan membosankan? Penulis masih bisa mengandalkan keberadaan prolog. Prolog dapat digunakan untuk membuka cerita dan memancing rasa penasaran dengan memberi gambaran awal cerita. Penulis dapat memasukkan bagian konflik atau klimaks, kilas balik (flashback), dan sebagainya sebagai prolog. Asalkan tidak memberi pembuka yang klise seperti deskripsi suara alarm, seseorang yang baru bangun tidur di pagi hari, dan sebagainya. Harus ada sesuatu yang lebih dari itu sehingga membuat pembaca tertarik.

Apakah keberadaan prolog mutlak harus diiringi epilog? Tidak juga. Kak Orizuka menjawab bahwa penulis dapat memasukkan prolog tanpa epilog, begitu juga sebaliknya. Lagipula, apabila terdapat prolog maupun epilog, keduanya tidak harus benar-benar berkaitan. Epilog bisa disertakan untuk tambahan cerita atau penutup cerita.

Ketika memasuki sesi pertanyaan, diskusi jadi mengarah pada krusial tidaknya ejaan dalam sebuah novel. Dari diskusi tersebut aku menarik kesimpulan bahwa ada kalanya penulis menyalahi kaidah seperti ejaan dan penggunaan kata demi sebuah nilai rasa. Namun bukan berarti seorang penulis fiksi tidak perlu belajar EBI. Dasar-dasarnya tetap harus dipegang, tetapi jangan takut untuk menambah nilai rasa dengan membuat kaidah tersendiri. Karena menulis fiksi adalah seni, begitu menurut Kak Orizuka.

Kemudian diskusi berlanjut pada sesuatu yang selalu menjadi monster bagi para penulis, yaitu writer’s block. Singkatnya, ini adalah kondisi di mana penulis tidak bisa menghasilkan karya baru, atau yang biasa disederhanakan sebagai “kehabisan ide” atau “sedang stuck”. “Penyakit” ini menyerang penulis dengan pengalaman secuil hingga yang segudang. Siapapun pasti pernah mengalaminya.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Banyak hal yang dapat dilakukan, misalnya refreshing dengan melakukan berbagai hobi, membangkitkan motivasi dengan membaca buku penulis lain, tidak meninggalkan naskah terlalu lama, dan sebagainya. Dan satu hal lagi, jangan terlena dengan zona nyaman selama mengalami “penyakit” ini.

Tak hanya memaparkan pendapat pribadinya saja, Kak Orizuka juga bertanya pada ketiga peserta (lagi-lagi hanya ada tiga orang) tentang cara mengatasi writer’s block. Hasilnya, ada beberapa metode penyembuhan “penyakit” writer’s block. Ada yang tetap memaksa diri untuk menulis karena terbiasa dengan sistem deadline, tetapi ada juga yang sependapat dengan Kak Orizuka dengan mengalihkan diri pada hobi lain sebagai penyegaran.

Sebagai tujuan utama menulis novel, penulis tentunya ingin menerbitkan karya yang telah dibuat susah payah itu. Maka dibuatlah materi tentang pengiriman naskah. Kak Orizuka menyarankan untuk mencari penerbit yang cocok, artinya sesuai genre dan target pasar. Jangan sampai penulis mengalami banyak penolakan karena mengirim karyanya ke penerbit yang tidak berfokus pada genre maupun target pembaca dari karyanya. Oleh karena itu, riset mengenai buku terbitan penerbit sangat perlu untuk dilakukan.

Berikut adalah kelengkapan dokumen untuk mengirimkan naskah ke penerbit :
  1. Surat pengantar
  2. Sinopsis (awal-akhir 2-3 halaman), gaya bahasanya diusahakan sama dengan gaya di naskah utama
  3. Biodata
  4. Naskah, apakah print out/pdf/doc itu tergantung permintaan penerbit
  5. Ketentuan lain dari penerbit

Selebihnya, bisa dicek dalam website penerbit sasaran. Setiap penerbit memiliki kemungkinan mensyaratkan dokumen yang memiliki format khusus atau hal lainnya yang cukup berbeda.

Kemudian hal lain yang harus diperhatikan saat mengirimkan naskah antara lain :
  • Penulisan sesuai EBI dan kaidah lainnya
  • Tidak bertanya berkali-kali pada penerbit (batas waktu konfirmasi diterima atau tidaknya adalah 3-6 bulan)
  • Tidak mengultimatum penerbit
  • Tidak mengirimkan naskah pada beberapa penerbit dalam satu waktu

Untuk poin terakhir, sebenarnya ada perbedaan pendapat di kalangan penulis. Ada penulis yang merasa sah-sah saja mengirim satu naskah ke beberapa penerbit secara bersamaan, ada juga yang menunggu konfirmasi sebelum mengirimkannya ke penerbit lain. Ini tergantung pada pandangan masing-masing penulis.

Ketika mengirimkan naskah, tentu akan ada dua kemungkinan, yaitu naskah diterima atau ditolak.
Kak Orizuka memulai penjelasan dari hal manis terlebih dulu. Apabila penulis menerima email, telepon, atau surat tanda diterimanya naskah, rangkaian proses penerbitan akan menanti. Di bawah ini adalah hal yang akan dialami penulis sebelum naskahnya benar-benar terbit :
  1. Revisi sesuai masukan dari editor (ada deadline-nya). Revisi bisa berupa permintaan untuk meringkas jumlah kata, dsb
  2. Editing
  3. Layout
  4. Proofread (untuk penyelaras aksara)
  5. Pembuatan cover
  6. Penandatanganan kontrak SPPB (Surat Perjanjian Penerbitan Buku)
  7. Pembayaran melalui dua cara yaitu beli putus dan royalti

Dalam proses ini, penulis perlu untuk membaca kontrak penerbitan buku dengan seksama agar tidak timbul kesalahpahaman dengan pihak penerbit. Penulis juga harus aktif bertanya pada penerbit terkait hal penting seperti waktu terbit, royalti, dan lain-lain.

Kemungkinan pahit yang kedua tentu saja penolakan naskah. Penolakan ini bisa karena banyak faktor, misalnya genre dan target pasar yang tidak cocok atau unsur intrinsik lainnya. Biasanya penolakan naskah dilakukan melalui pemberitahuan seperti pada kemungkinan bila naskah diterima. 

Di samping kabar buruk tersebut, ada kalanya pihak penerbit mencantumkan hal-hal yang perlu direvisi pada naskah sebelum mencoba mengirimkannya lagi. Penulis dapat menentukan apakah masih ingin mengirim ke penerbit tersebut atau mencoba ke yang lain. Opsi terakhir yang dilakukan bila naskah ditolak adalah membuat naskah yang baru. Intinya, penulis harus siap menerima segala kemungkinan menyangkut naskah garapannya.


Begitulah ilmu yang kudapat pada kelas “keempat”. Untuk kelas bulan depan, kemungkinan akan mengupas sinopsis milik masing-masing peserta secara mendalam dan membantu memberi perbaikan-perbaikan. Jadi, di balik pembuatan tulisan ini, aku juga sibuk memikirkan apakah sinopsisku pantas untuk dikembangkan menjadi sebuah karya perdana atau sebaliknya.

You Might Also Like

2 comments

  1. Semoga sinopsisnya bisa dikembangkan jadi novel yang keren yaa. Tetap semangat belajarnya ;)

    ReplyDelete
  2. Aku tercerahkan. Jadi kangen nulis fiksi lagi.

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Flickr Images