Teror Sang Ibu

2:51 AM


Berawal dari ajakan Novi yang terbilang dadakan dari Selasa malam, kami pergi menonton film yang akhir-akhir ini sedang jadi perbincangan. Posternya juga terpampang di sebrang UNPAD sejak beberapa minggu lalu. Tak hanya nonton dengan Novi saja, ada juga teman KKN kami bernama Erin.

Aku yang sudah bosan dengan segala wacana kumpul fullteam dengan teman KKN, sudah berekspektasi bahwa ini akan menjadi pertemuan yang menyenangkan. Apalagi aku sudah lama juga tak menonton film di bioskop. Kuanggap ini sebagai moodbooster dari segala kesulitan dan kejenuhan yang diderita mahasiswa tingkat akhir.

Tetapi ada satu yang mengganjalku, yaitu jadwal kuliah yang sangat mepet dengan rencana nonton. Kuliah yang selalu berakhir pada pukul setengah tiga itu berdekatan dengan rencana nonton pada pukul 2:40. Namun Novi meyakinkanku bahwa kami akan sempat ke sana, meskipun kemungkinan besar kami akan melewatkan bagian prolog. Aku pun terus berusaha berpikir positif bahwa acara nonton bareng ini akan berjalan mulus.

Seperti yang diduga, kuliah berakhir pukul 2:30 tepat. Aku sudah gelisah saat mengecek jam tangan pada 10 menit terakhir perkuliahan. Begitu kelas selesai, aku langsung menyambar jaket dan tas lalu berlari ke pos satpam karena Novi sudah menunggu dengan sepeda motornya. Jantungku sudah berdebar-debar karena sudah tahu bahwa tiket untuk pukul 2:40 sudah dipesan Erin.

Lalu kami pun meluncur menuju Jatinangor Town Square (JATOS), satu-satunya sentra hiburan mahasiswa Jatinangor yang tak memandang kelas sosial. Di tengah jalan, kami sempat panik tak panik saat hujan cukup deras turun di hari yang cerah. Perasaan panik muncul karena hujan itu cukup membuyarkan konsentrasi saat berkendara, tetapi sekaligus tidak panik karena hujan semacam itu biasanya takkan turun lama.

Aku dan Novi akhirnya tiba di JATOS. Dari Lower Ground (LG) yang dekat parkiran kami berjalan menuju eskalator dan naik menuju lantai 1 tempat bioskop XXI berada. Tetapi saat menaiki tangga menuju XXI, tiba-tiba Novi menerima chat bahwa Erin sudah menunggu di teater 1. Seketika kami dilanda panik dan cepat-cepat memasuki lobby bioskop.

Benar saja, mahasiswa teknologi pangan itu tengah duduk sendiri menunggu kedatangan kami. Kami pun saling tersenyum dan cepat-cepat berjalan menuju pintu teater yang telah terkuak. Setelah Erin memberikan tiga buah tiket nonton kepada petugas, kami masuk bersamaan menembus kegelapan ruang. Layar lebar ternyata sudah menunjukkan sebuah scene, pengeras suara di sekeliling pun menggaungkan percakapan aktris maupun aktor. Tepat setelah berhasil menemukan tempat duduk, kami sadar bahwa itu masih adegan prolog. Jadi meski telat 10 menit dari waktu tayang, tak banyak cerita yang terlewat. Lagipula penonton masih dalam keadaan adem ayem. Untunglah.

Baiklah, setelah ini aku akan menceritakan hal yang terjadi selama menonton dan reaksi kami setelahnya…

Pada bagian awal sudah cukup banyak adegan yang membuat kami berdebar-debar. Bukan hanya karena kegantengan ayah Rina yang diperankan oleh Bront Palarae, tapi karena perpindahan kamera maupun zoom-nya. Siapapun pasti akan curiga layar memunculkan makhluk mengerikan dengan perpindahan kamera seperti itu. Tapi kami tenang kembali saat mendapati layar hanya menunjukkan ruang kosong atau bahkan tulisan “Pengabdi Setan” dengan font kaku berwarna merah ala film tahun 1980an. Tak hanya tulisan, penampilan para tokoh pun benar-benar dibuat vintage. Maklum film Pengabdi Setan ini memang remake dari film berjudul sama di tahun itu.

Lalu pada saat keluarga Rina menemukan hal-hal aneh setelah kematian Nenek, suasana dalam bioskop semakin mencekam. Kemunculan hantu Ibu yang menjadi ikon utama di beberapa kali kesempatan membuat penonton berteriak-teriak panik. Adegan ketika Ian akan diambil oleh setan yang bentuk utuhnya tak terlalu jelas pun tak kalah menyeramkan. Tetapi film itu tak sepenuhnya mencekam karena sesekali penonton terhibur dengan lelucon yang dilontarkan para tokoh.

Adegan pertama yang membuat penonton histeris ketakutan
Siapa yang tidak panik bila melihat sang Ibu mengintip seperti ini?
Memasuki pukul 4 lebih (sekitar satu setengah jam durasi film), emosi penonton seolah semakin dipermainkan. Itu semua diwakili oleh teriakan yang memenuhi ruang bioskop. Kami semua dibuat kaget setengah mati oleh jumpscare yang hampir tak berjeda sejak memasuki scene munculnya para anggota sekte pengabdi setan. Setelah itu sudah tak ada lagi lelucon intermezzo yang dapat mencairkan suasana. Aku pun semakin merasa ini adalah film horor satu-satunya yang memberi sensasi seperti sedang bermain game horor semacam Outlast atau Resident Evil 7. Seolah aku harus ikut berpikir bagaimana caranya agar keluarga Rina selamat dari teror mengerikan itu.

Pukul 5 kurang, film akhirnya selesai. Seluruh ketakutan yang menyelimuti itu perlahan terlepas dari tubuh kami bertiga. Seluruh kesadaran kami pun kembali pada real life. Dan inilah hal yang paling kubenci saat selesai menonton film. Mau tak mau aku harus kembali pada rutinitas membosankan setelah melihat hal-hal luar biasa melalui layar lebar.

“Jadi sebenernya apa sih maksud biji merah yang di toples itu?”

“Kenapa itu anak bungsunya malah diambil gitu aja sama setannya? Dan siapa yang ngambil?”

“Terus apa maksudnya anggota sekte itu ngumpul di sekitar rumah sambil naburin biji-biji merah?”

Komentar tentang momen panik dalam bioskop tadi yang diwarnai derai tawa berubah menjadi diskusi cukup serius. Diskusi itu dimulai ketika Erin masih belum menangkap maksud dari beberapa potong scene. Baik aku dan Novi memberikan argumen secara bergantian sambil mengingat-ingat jalan ceritanya.

Jujur saja, bisa dibilang ini baru pertama kalinya aku—bahkan Novi juga—masih tertarik membahas plot film yang baru saja ditonton, terutama film horor. Biasanya setelah menonton, aku hanya merasa lega kalau ceritanya bagus dan “terhibur” dengan jumpscare-nya, atau kecewa dengan perasaan menggantung kalau ternyata kurang memuaskan. Belum puas berdiskusi sambil jalan keluar area bioskop, kami pun melanjutkannya di food court. Di situ kami juga saling mengomentari kekonyolan penonton yang histeris sampai membuat Erin tertawa geli, Novi yang kebanyakan menutup mata dengan kedua tangan, dan aku yang tak henti-hentinya nyerocos mengomentari scene untuk mengalihkan rasa takut.

Efek yang dihasilkan film Pengabdi Setan tak berakhir di JATOS. Tak berakhir setelah lewat setengah jam dari nonton bareng. Bahkan aku masih sedikit ketakutan saat tiba di rumah, apalagi menyadari anggota keluarga masih di luar. Bukan hanya itu, rumah pun masih dalam keadaan gelap. Alhasil setelah menyalakan lampu-lampu, aku diam di ruang tamu sambil main gadget, menunggu sampai salah satu keluarga pulang. Itu benar-benar di luar kebiasaanku yang biasanya langsung masuk kamar begitu sampai rumah.
Aku salut pada akting Ayu Laksmi yang memukau saat memerankan sosok Ibu yang menyeramkan
Film remake itu masih menyisakan efek psikis cukup kuat hingga keesokan harinya. Terbukti setelah aku iseng bertanya pada Novi tentang perasaannya setelah nonton. Ia mengakui di kepalanya masih terbayang beberapa potong scene film yang membuatnya susah tidur. Kami pun masih merinding ketika obrolan menyinggung hantu-hantu di dalamnya. Akibat efek itu, kami melontarkan pujian baik pada sutradara maupun para aktor dan aktris. Terutama pada Ayu Laksmi (pemeran Ibu) yang sukses membuat merinding bulu kuduk meski hanya melihat fotonya saat mengenakan gaun bertudung.

Inti yang hendak kusampaikan di sini adalah aku sama sekali TIDAK MEREKOMENDASIKAN FILM INI. Aku sangat tidak menyarankan Pengabdi Setan kepada orang yang tak mau tidurnya diganggu oleh potongan scene film beserta kehadiran hantunya yang sangat mengerikan, juga pada orang yang hanya mencari film dengan bumbu seks yang sempat mengontaminasi perfilman horor beberapa waktu lalu. Apalagi kepada orang yang tak mau melihat karya anak bangsa mengguncang negeri dengan teror bertajuk “Ibu datang lagi”.

You Might Also Like

1 comments

  1. Efeknya bisa sampe segitu kak? Wahhh
    Jadi penasaran pengin nonton...

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Flickr Images