Tur di Waseda University (早稲田大学でのツアー)

8:36 PM

20 Juli 2017

Suatu hari di Shibamata, aku teringat akan obrolan teman internship tentang tur keliling kampus yang pernah dilakukannya. Tak mau kalah darinya, cepat-cepat aku mengontak salah satu teman yang berstatus mahasiswa di Waseda University. Aku memintanya untuk menjadi guide tur kampusnya, dan untunglah ia tak keberatan. Ia juga mengajak serta mahasiswa lainnya yang pada Februari lalu sama-sama pernah ke kampusku untuk pertukaran budaya.

Sepulang magang pada pukul 6 sore, aku naik densha dari Stasiun Jinbocho melalui jalur Tokyo Metro Hanzomon menuju Stasiun Kudanshita. Lalu di sana aku ganti densha untuk menuju Stasiun Waseda. Waktu keseluruhan yang kuhabiskan dalam kereta kurang lebih 15 menit.

Sesampainya di stasiun, kutelepon teman dari Waseda University itu. Lelaki berusia dua puluh asal Osaka itu memintaku menunggu dekat pintu keluar stasiun karena ia akan menjemput bersama dengan salah satu kakak tingkatku. Ia juga memberi tahu bahwa sepertinya hanya kami bertiga yang akan melewatkan tur karena yang lainnya sedang sibuk dengan urusan lain.

Tak lama kemudian, aku bertemu dengan mereka berdua. Lalu kami bertiga berjalan menuju Waseda University. Obrolan tentang warna rambut lelaki asal Osaka yang dinilai sangat tidak cocok dengan penampilannya mewarnai perjalanan kami. Sesekali kakak tingkatku yang sedang ryuugaku itu mengomentari dengan kata-kata yang membuat kami tertawa geli.

Melalui perjalanan sekitar sepuluh menit dari stasiun, gedung berbentuk tonggak seperti perkantoran terlihat menjulang tinggi. Temanku menjelaskan bahwa itu adalah salah satu bagian dari gedung kampus. Bersamaan dengan itu, semakin banyak orang yang berjalan cepat berlawanan arah dengan kami. Mereka yang bersetelan kasual sambil menenteng satu atau dua buku itu mungkin mahasiswa Waseda yang baru selesai kuliah.

Akhirnya tibalah kami di lokasi tur. Beberapa meter dari gerbang masuk, kami disambut oleh Aula Okuma (大隈講堂) yang elegan dan bergaya gothic. Di bagian kanan aula tersebut menempel menara jam ikonik. Suara dentang jam yang menjadi ciri khas bel sekolah di seluruh Jepang katanya bermula dari menara jam itu. Aku benar-benar tak menyangka suara dentang jam yang sudah sangat familiar sejak 12 tahun lalu ketika aku mulai suka menonton anime itu berasal dari jam yang didatangkan langsung dari Eropa tersebut.
Di depan Aula Okuma

Puas melihat menara jam, kami berjalan menuju jalan lurus di hadapan aula. Tanpa diduga-duga, kami bertemu dengan salah satu mahasiswi Waseda yang pernah ikut pertukaran budaya. Mahasiswi pascasarjana asal China itu menyapa kami dengan hangat dan meminta maaf karena tak bisa ikut jalan-jalan. Sebelum ia kembali pada urusannya, kami berempat menyempatkan diri untuk berfoto dengan Aula Okuma sebagai latarnya.

Di tengah-tengah jalan lurus itu, sebuah monumen berbentuk tokoh akademisi berdiri tepat menghadap aula. Ternyata itu adalah monument Okuma Shigenobu, sang pendiri Waseda University. Menurut penjelasan temanku, ia pernah menjadi Perdana Menteri Jepang pada Zaman Meiji yang sangat dihormati. Universitas ini memang sudah tak diragukan lagi kualitasnya, mengingat banyak lulusannya yang menjadi orang terkenal di lingkup nasional maupun internasional. Sebutlah Haruki Murakami (sastrawan), Tadashi Yanai (CEO UNIQLO), Nobuyuki Idei (mantan CEO Sony), bahkan tujuh orang Perdana Menteri Jepang juga berasal dari universitas ini.

Setelah berbelok dan melalui beberapa jalan, kami tiba di gedung perpustakaan universitas. Kedua mataku menelusuri area perpustakaan yang luas dan interiornya klasik dan mewah seperti hotel di Eropa pada abad ke-19. Jepang di Zaman Meiji memang sedang mengadopsi budaya Barat secara besar-besaran. Mungkin gedung ini interiornya tak mengalami banyak perubahan sejak itu. Melihat perpaduan klasik dan modern yang apik di gedung kampus, membuatku berusaha menyembunyikan kekaguman luar biasa pada universitas swasta yang menjadi saingan Keio University ini.

Di tengah tur, aku menunjukkan rasa penasaranku pada kantin Waseda. Aku berekspektasi bahwa kampus prestisius pasti memiliki tempat makan yang prestisius juga. Tetapi nyatanya, para mahasiswa di Waseda justru lebih sering makan di luar kampus ketimbang di kantin kampus itu sendiri. Kendalanya ada pada ruang yang sempit. Tak jarang kantin sangat sesak pada jam makan siang. Selain itu, kalau tidak salah di sana belum ada menu makanan Halal, berbeda dengan kampus tempat kakak tingkatku belajar yang sudah ada makanan berlabel Halal.

Perjalanan dilanjutkan ke area kampus yang terpisah. Di sana ada Fakultas Sastra beserta proyek yang entah akan menghasilkan bangunan apa. Rencananya kami akan sedikit berbuat ‘usil’ di sana dengan memberi kejutan pada salah satu mahasiswi yang membatalkan keikutsertaannya karena terjebak deadline tugas. Dari chat terakhirnya, mahasiswi tingkat tiga itu sedang berada di perpustakaan fakultas. Lalu kakak tingkatku nekat masuk berbekal kartu anggota perpustakaan yang dimiliki mahasiswa asal Osaka yang tengil itu. Tetapi sayangnya ia keluar dengan hasil yang nihil.

Lalu tiba-tiba mahasiswi tingkat tiga itu mengabari bahwa ia sedang berada di public space. Cepat-cepat kami menghampirinya. Benar saja, di mejanya bergeletakan empat buah buku, sementara ia sibuk dengan notebooknya. Tak hanya dia, ternyata masih banyak mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugas. Kelihatannya ia sedang dikejar deadline laporan tentang kesusastraan. Setelah mengobrol singkat, kami bertiga berencana untuk makan di kaiten-zushi, dan mahasiswi itu akan menyusul ke sana setelah pukul 9 malam.

Kemudian kami berjalan kaki menuju tempat kaiten-zushi yang menunya lengkap dan harganya murah. Di tengah perjalanan, ada satu orang teman lagi yang katanya akan bergabung (teman yang pernah membatalkan pertemuan di Ueno). Kemudian kami berempat pun berjalan menembus angin malam menuju tempat makan yang ternyata sangat ramai oleh pengunjung. 

Kami menunggu sekitar satu jam untuk mendapatkan tempat duduk. Bahkan kami masih belum dapat tempat duduk ketika mahasiswi yang tadi mengerjakan tugas telah datang. Berbagai obrolan pun dilakukan demi mengisi waktu luang. Topik obrolan silih berganti mulai dari kesibukan di kampus dan tempat magang, hingga kelas bahasa Indonesia dadakan yang diikuti oleh mahasiswa asal Osaka itu. Aku dan kakak tingkatku akhirnya iseng menyuruh dia mengeja tanggal lahir kami.

Akhirnya tersedia satu set tempat duduk kosong untuk kami. Sementara itu, antrian di waiting list terlihat terus mengular demi menikmati sushi lezat seharga 100 yen per porsi. Aku yang menggemari sushi tertarik mencoba nigirizushi dengan berbagai macam neta (topping pada sushi). Salmon dan maguro sudah pasti menjadi menu wajib, sebagai tambahannya aku juga mencoba cumi-cumi, gurita mentah, saba, dan menu spesial yang aku sudah lupa apa namanya. Semuanya enak, segar, dan rasanya khas ketika dibubuhkan wasabi dan shoyu. Rasanya sama sekali tak ada penyesalan saat aku sadar telah menghabiskan 7 porsi sushi.
Menikmati kaiten-zushi

Pukul 11, kami memutuskan untuk menutup pertemuan. Mau tidak mau kami harus istirahat untuk menghadapi real life esok hari. Ketika keempat temanku harus bersiap kuliah besok pagi, aku harus bersiap mengikuti simulasi menjadi shakaijin dalam program magang. Masih ada waktu 10 hari lagi di Negeri Sakura untuk menantang diri dan menunggu pelajaran baru untuk dijadikan aset pengetahuan di masa depan.

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images