Petualangan di Tokyo Bersama Volunteers (ボランティア達との東京冒険)

7:59 PM

Bersama para volunteers di depan Kuil Nezu

22 Juli 2017

“Untuk tanggal 22 nanti akan dihubungi lagi oleh volunteer tentang jam dan tempatnya ya. Mina-san, otanoshimi ni ne”

Aku dan teman kamarku menyempatkan diri menjawab “otanoshimi ni!” saat muncul chat penanggung jawab magang di grup chat, sambil bersiap pergi ke kantor masing-masing. Tentu saja kami yang biasanya selalu memiliki agenda jalan-jalan sudah memberikan pengecualian untuk tanggal 22 nanti. 

Inilah pertama kalinya aku dan teman-teman internship resmi akan berwisata bersama. Wisata kali ini memang sudah ada dalam jadwal kami. Katanya, akan ada beberapa volunteer orang Jepang yang akan menemani. Tak hanya itu, ada juga dua orang Indonesia yang tahun lalu pernah ikut program magang yang sama dengan kami.

Para volunteer telah masuk ke grup chat dan memperkenalkan diri. Dua di antaranya ternyata staf Northern Lights (salah satunya adalah yang pernah menjelaskanku tentang aturan permainan baseball). Seperti yang pernah disinggung oleh penanggung jawab program magang, kami diminta untuk menentukan tujuan wisata. Setelah sedikit berdiskusi dengan volunteer, akhirnya disepakati bahwa kami akan pergi ke Tokyo Daigaku (Todai), Kuil Nezu, dan Odaiba. Syukurlah, ketiganya adalah tempat yang belum pernah kukunjungi.
Siap berpetualang❗️

Khawatir membuat para volunteer menunggu, kami mulai bersiap-siap dari pagi hari, seperti saat akan berangkat ke tempat magang. Kami berangkat dari Stasiun Shibamata menuju Stasiun Hongo-Sanchome. Sambil mengikuti rute kereta dari aplikasi Yahoo! Norikae-Annai, kami berganti kereta hingga akhirnya tiba pada pukul 10, tepat seperti waktu janjian dengan volunteer. Benar saja, sudah ada tiga orang Jepang yang menunggu. Kemudian tak lama dari situ, dua volunteer Indonesia menyusul.
Wefie sebelum berangkat
Setelah wefie untuk laporan pertama pada penanggung jawab program, kami melangkah bersama menuju tempat tur pertama, Tokyo Daigaku. Bicara soal Todai, aku sudah sangat familiar dengan nama universitas itu sejak pertama kali belajar bahasa Jepang. Sebetulnya terbersit sedikit keinginan untuk kuliah di universitas nomor 1 di Jepang itu. Tetapi entah sejak kapan aku menjadi tak begitu ambisius untuk mengambil beasiswa ke sana, berbeda halnya dengan salah satu teman internship-ku. Untuk melanjutkan studi, aku lebih mementingkan merit dari program beasiswa dan bidang studi yang akan kuambil nantinya.

Tibalah kami di Todai dengan dengan gerbangnya yang ala Jepang. Sangat bertolak belakang dengan gedung-gedung kampus yang seperti bangunan Eropa di abad ke-19. Itu sedikit mengingatkanku pada Waseda University. Kami melewati jalan lurus yang mengantarkan pada gedung ikonik Tokyo Daigaku dengan menara jamnya. Di kanan kiri jalan ada beberapa gedung yang berdiri di belakang pepohonan rindang. Meski hari Minggu, kampus terlihat cukup ramai oleh mahasiswa yang mungkin sedang melakukan kegiatan di luar kuliah.
Gedung utama Tokyo Daigaku

Lalu kami melewati tangga menuju bagian bawah tanah yang mengarahkan kami pada kantin universitas yang luas. Uniknya, di sana terdapat etalase berisi replika makanan yang tersedia di kantin beserta harganya. Harga makanan sekitar 500 sampai 600 yen, terbilang cukup murah untuk ukuran mahasiswa Jepang. Saat itu sekitar pukul setengah 12 siang, kebetulan sekali tepat dengan jam makan siang. Tetapi kami mengurungkan niat untuk makan di sana dan memilih untuk mencari restoran.

Sebelum makan siang, kami menyempatkan diri untuk mampir dahulu ke Kuil Nezu. Aku belum pernah mendengar nama kuil ini, dan belum tahu apa yang membuat para volunteer merekomendasikannya. Biarlah, lebih baik kucari tahu sendiri seiring dengan berjalannya tur. Ternyata kuil ini memiliki deretan torii (gerbang kuil Shinto berwarna merah) seperti Kuil Fushimi Inari di Kyoto. Meski hanya versi mininya, tetapi kami puas berfoto di sana. Kuil itu juga memiliki taman yang asri dan sungguh menyejukkan pikiran.

Saat di kuil, sempat terjadi insiden kecil berkaitan dengan keyakinan. Di depan honden (bangunan utama kuil), ada salah satu volunteer dari Northern Lights yang sedang melempar koin 5 yen ke dalam seisanbako lalu berdoa. Kemudian ada seorang volunteer lain yang menawariku untuk melempar koin juga. Saat aku menolak, ia malah menawarkan lagi sambil menyodorkan koin 5 yen miliknya. Masalahnya itu sudah menjadi salah satu ritual ibadah mereka dan tentu saja aku tak boleh mengikutinya. Untunglah setelah dijelaskan demikian, ia mengerti juga.

Sudah waktunya untuk makan siang. Pilihan kami jatuh pada restoran donburi. Kalau ditawari donburi, tentu saja aku akan memilih oyako-don (semangkuk nasi dengan daging ayam dan telur setengah matang di atasnya). Makanan yang telah membuatku penasaran ingin mencoba itu memang tak mengecewakan. Sebetulnya aku pernah mencobanya saat makan siang dengan tantousha, tetapi apa salahnya untuk memakannya lagi. Aku pun merekomendasikan menu itu pada teman yang ambisius ingin masuk Todai itu. Untunglah baik aku maupun dia sama-sama menikmati oyako-don yang nikmat itu.

Setelah makan siang, sayangnya teman kamarku terpaksa memisahkan diri dari tur karena sudah memesan tiket untuk ke Museum Ghibli. Ah, mengingat ia akan pergi ke sana, aku jadi iri karena sempat memasukkan museum itu ke daftar kunjungan, tapi terpaksa batal karena sudah kehabisan tiket untuk bulan ini. Padahal aku berekspektasi untuk melihat boneka Totoro besar dan berbagai merchandise anime Studio Ghibli yang lucu-lucu.

Kemudian kami melanjutkan tur ke Odaiba. Letaknya cukup jauh dan mengarah ke selatan Tokyo, mendekati pelabuhan. Kereta yang kami tumpangi ternyata melewati rel yang disangga oleh tiang-tiang tinggi dan berada di antara deretan gedung pencakar langit. Apalagi ketika sesekali kereta melalui terowongan kaca, pemandangannya semakin terkesan futuristik. Seperti yang kuduga, daerah pelabuhan itu biasanya akan lebih maju ketimbang daerah yang jauh dari pelabuhan. Aku menikmati pemandangan sembari bersandar dan menempelkan kedua telapak tangan di jendela, persis seperti anak kecil. Sesekali aku mengobrol dengan para volunteer mengomentari kemewahan Odaiba.

Saat keluar dari stasiun, berbagai objek wisata mulai menggoda. Dari kejauhan sudah terlihat plaza, taman dengan pemandangan laut, Patung Liberty, bahkan bianglala. Di Odaiba juga katanya merupakan tempat didirikannya gedung studio Fuji TV, saluran di mana anime dan drama terkenal disiarkan. Pertama, kami berfoto dulu dengan Liberty sebagai latarnya. Walau hanya mengambil foto, tapi sudah cukup menguras keringat karena betapa menyengatnya matahari di daerah pelabuhan saat musim panas.

Puas berfoto di dekat Liberty, tur lalu dilanjutkan ke DiverCity Tokyo Plaza. Mungkin sudah banyak orang yang tahu bahwa plaza ini terkenal dengan Gundam raksasa di bagian depannya. Tetapi sayangnya Gundam itu sudah lama dibongkar sehingga kami tak dapat melihatnya. Jadi kami langsung masuk saja ke plaza dan window-shopping. Banyak sekali toko yang menjual pakaian, makanan, elektronik bahkan oleh-oleh Jepang. Saat itu kebetulan sekali ada pameran doujinshi dekat bioskop yang cukup ramai dikunjungi. Meski banyak yukata yang dijual dengan harga promo 7000 yen, di sana aku hanya membeli outer panjang berwarna putih yang kebetulan didiskon menjadi 970 yen.

Setelah plaza, kami berjalan menuju gedung Fuji TV yang sedang banjir pengunjung. Dari bagian samping terlihat bola logam raksasa yang menggantung di antara dua pilar, menjadi bagian dari ciri khas gedung. Di bagian pelatarannya ternyata sedang ada pameran One Piece. Berbagai karakter seperti Luffy, Sanji, Nami, dan sebagainya diwujudkan dalam bentuk figur setinggi manusia yang menarik perhatian. Berbagai stan juga didirikan di sekitarnya. Lalu di bagian dalam studio, terdapat potongan tayangan berita, drama, anime, dan variety show melalui layar kecil yang tersebar di berbagai sudut. Kami juga sempat melihat salah satu studio yang sangat luas.
Di bagian pelataran gedung Fuji TV (ada pameran karakter One Piece)

Sebagai bagian terakhir dari tur, kami naik bianglala untuk menikmati pemandangan pelabuhan beserta gedung pencakar langitnya yang tersebar. Bianglala itu dikenal sebagai Giant Sky Wheel setinggi 100 m. Satu bilik hanya bisa diisi oleh 5 orang, jadi rombongan tur dibagi menjadi dua kelompok. Saat mencapai puncak bianglala, aku dapat melihat dengan jelas seluruh area pelabuhan karena cuaca sangat cerah. Kami menikmati satu putaran yang berdurasi 16 menit.


Pemandangan dari atas Giant Sky Wheel Odaiba

Tak terasa wisata bersama volunteer selesai pada pukul 5 sore. Tak lupa aku dan teman-teman mengucapkan terima kasih pada para volunteer yang telah menemani kami berjalan-jalan dan mengobrol tentang banyak hal yang menyenangkan. Rasa lelah luar biasa tak menjadi percuma karena tur pada hari ini sangat memuaskan. Jadi sudah saatnya untuk kembali ke Shibamata untuk disambut oleh keramahan staf dan bau kayu penginapan yang khas seperti biasanya.

Sepulang dari Odaiba, entah kenapa mulai muncul satu pemikiran yang kurasa cukup absurd. Perjalanan ini telah mengajarkan bahwa aku tak perlu lagi berambisi pergi ke megapolitan lain seperti New York dan London. Bagiku, Tokyo sudah lebih dari cukup. Kalau hanya ingin melihat Liberty, di Odaiba saja sudah ada. Kalau ingin melihat gedung berarsitektur klasik dan megah, tinggal pergi saja ke area dekat Imperial Palace yang dijuluki ‘block of London’ itu. Sebagai tambahannya, di Tokyo kita bisa menemui gradasi sempurna antara tradisional dan modern. Wanita tua ber-yukata dengan percaya dirinya berjalan di antara pejalan kaki bersetelan jas kantor, kuil tua yang dibangun di tengah gedung pencakar langit. Kurasa, semua harmoni itu tak bisa ditemui di megapolitan lain selain Tokyo.

You Might Also Like

3 comments

  1. waah walaupun foto di bawah matahari yang menyengat tetap cantik ko mbak. BTW aku juga lagi bingung mbak ngejar program beasiswa atau merid ya. Sukses terus mbak ^^

    ReplyDelete
  2. Wah Tokyo yah...kota besar banget dan saya selama disini belum pernah ke Tokyo hehehheh mahal ongkosnya... Pengen juga liat Todai yang terkenal banget dan jadi acuan student disini.

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Flickr Images