“Kalau
udah pernah satu kali pergi ke Jepang, pasti bakal ada kesempatan buat ke sana
lagi.”
Begitulah
sepercik percakapanku beberapa tahun silam dengan salah satu kakak tingkat di
jurusan Sastra Jepang. Mungkin sah saja kuanggap mitos karena perkataan itu
bukan teori dari penelitian mendalam. Tapi di sisi lain, boleh juga kuanggap
fakta karena sudah terbukti melalui beberapa orang terdekat. Termasuk aku yang
mengalaminya sendiri.
Beruntungnya
aku masih diberi umur untuk menghirup udara Nagoya oleh Sang Pencipta. Dan
beruntungnya lagi ketika aku dipertemukan dengan orang-orang yang menyambutku
dengan baik. Sepintas memang biasa saja, hanya disambut oleh mahasiswa Jepang
dan supir penjemput. Tapi di situlah kejutannya. Sebelumnya aku tak menyangka
akan dijemput menggunakan mobil mengingat tahun lalu aku naik dan berganti
kereta beberapa kali dari bandara hingga penginapan. Jadi aku tak perlu
khawatir menyeret maupun mengangkat koper yang berat di tengah pengapnya zansho (sisa udara pengap di musim
panas).
Aku
bersama dua mahasiswa asal Jerman dan Turkmenistan diantar menuju asrama
masing-masing. Untuk pertama kali aku naik mobil di Jepang dan melihat langsung
lalu lintas di jalan tolnya. Kukira jalan tol menuju kota Nagoya akan banyak
dikelilingi gedung tinggi dan pabrik besar mengingat letaknya dekat dengan
Toyota, kota otomotif tersohor. Ternyata proporsi pemandangan bukit dan
pesawahannya tak kalah bersaing dengan perkotaan.
Setelah
keluar dari tol, aku langsung disambut oleh jalan raya yang didominasi oleh
tanjakan dan turunan. Jalan raya menuju asrama sudah seperti melewati jalan
menuju Dago Atas, dan jalan kecil menuju perumahan pun sama seperti kebanyakan
daerah Bandung Timur, rindang oleh deretan pohon dan menanjak. Meski tanpa kerusakan
jalan dan kemacetan akibat membludaknya kendaraan pribadi.
Sepanjang
perjalanan, aku menyadari bahwa Nagoya itu kota yang cukup ramah dan memiliki
aura keluarga, terlihat dari banyaknya orang tua dan anak-anaknya yang berjalan-jalan
di sekitar kota. Berbeda dengan Tokyo yang didominasi oleh mahasiswa dan
pekerja yang dari wajahnya saja sudah terlihat serius mengejar target
masing-masing.
Sebenarnya
ini tak terlalu penting, tapi pemandangan anak-anak SD yang berjalan dengan ceria
sambil membawa randoseru (ransel) yang
menggembung di punggungnya, meninggalkan suatu perasaan terkesan. Mungkin
karena nostalgia masa SD menghampiri, atau mungkin karena lega melihat mereka sama
sekali tak gentar berjalan di tengah keramaian kota tanpa didampingi orang
tuanya.
Nagoya
ini bagaikan transisi. Suasananya tak terlalu metropolis seperti Tokyo dan tak
dapat pula dikatakan pedesaan seperti Aomori. Jumlah pelajar maupun pekerjanya
cukup seimbang. Secara geografis pun ada pesisir maupun dataran tinggi. Mungkin
boleh bila kukatakan sebagai perpaduan antara Bandung dan Yogyakarta.
Sesampainya
di asrama Nagoya Koryu Kaikan (NKK), aku sama sekali tak keluar demi memulihkan
rasa lelah. Untungnya jet-lag yang
menyerang tak sekejam saat di Tokyo tahun lalu. Rasa lelahnya hampir sama
seperti naik kereta dari Bandung ke Yogyakarta. Jadi aku masih cukup
bersemangat mengeluarkan barang bawaan dari koper dan ransel lalu memasang
sprei kasur. Satu misi pertama begitu tiba di Jepang untuk kedua kalinya.
Untuk
kedua kalinya…
Saat
kata-kata itu semakin membayangi isi kepalaku di malam hari, aku semakin
percaya bahwa Izanami dan Izanagi telah menyematkan magnet misterius pada
Negeri Sakura. Dengan tibanya aku di Nagoya, magnet itu seolah berhasil membuatku
tak cukup mengunjungi negeri ciptaannya sekali saja. Mungkin perkataan kakak
tingkatku itu suatu saat boleh kutarik sebagai teori yang telah terbukti
kebenarannya.