Berawal dari Tokyo Skytree (東京スカイツリーをはじめ) ~Jalan-Jalan di Tokyo Skytree, Asakusa, dan Sumidagawa~

3:08 AM


12 Juli 2017

Di kegiatan magang hari ini cukup banyak yang harus dikerjakan. Apalagi ada tugas yang kemarin belum sepenuhnya selesai. Jadi aku mengerjakannya dari pukul 9 sampai 12 siang, sekalian membuat dokumen berisi ringkasan dari pelajaran kemarin. Alhasil rasa kantuk semakin terasa karena aku harus mengerjakan sambil membaca ulang kertas materinya. 

"Nanti sehabis membuat ringkasan materi yang kemarin, terjemahkan informasi ini ya"

Ternyata ada pekerjaan menerjemahkan informasi lowongan arubaito di website perusahaan ke dalam bahasa Indonesia yang telah menanti. Tetapi aku baru bisa mengerjakannya selepas makan siang. Untunglah tenagaku yang sempat loyo kembali terisi oleh nasi kare yang super enak meski sempat kaget karena harga seporsinya 1.400 yen atau setara dengan Rp 160.000.

Sebelum aku beralih ke pekerjaan menerjemahkan artikel, aku diperkenalkan pada waku waku card. Menurut tantousha-ku, kertas berupa memo seukuran kartu nama itu diisi dengan ucapan terima kasih pada staf yang telah melakukan hal positif kepada kita, seperti membantu atau mengajarkan sesuatu. Jadi aku harus menulis waku waku card itu kepada orang-orang yang kemarin mengajariku. Ternyata orang Jepang sampai sedetail itu untuk membuat bentuk apresiasi kepada stafnya meski hanya hal sepele.

“Hari ini ada rencana jalan-jalan?”

Peserta magang dari Vietnam yang duduk berseberangan itu mencuri-curi mengajakku berbicara. Padahal kenyataannya ia jauh lebih sibuk dariku, tapi masih sempat membuat intermezzo di tengah pekerjaannya.

“Kayaknya ngga ada deh. Hari ini aku mau langsung istirahat di penginapan aja”. Laki-laki berusia dua puluhan itu manggut-manggut dan kembali pada pekerjaannya. 

Baik, aku sudah menetapkan hari ini tak ada rencana pergi ke manapun. Tubuhku sudah cukup lelah untuk berpetualang selepas magang. Intinya petang ini aku hanya akan melihat Shibamata di depan mata.

Tetapi seperti kata kebanyakan orang, hati manusia dapat dengan mudahnya dibolak-balik. Saat aku baru tiba di Stasiun Oshiage, tulisan Tokyo Skytree Town mulai menggoda. Oh ya, aku sebenarnya sudah sangat familiar dengan pusat komersial yang selalu dilewati itu.

“Kalo gitu, jangan cuma lewat dong, liat kayak gimana sih Tokyo Skytree itu”

Bisikan yang entah datang dari mana itu semakin mendorongku untuk mampir ke Tokyo Skytree. Sedikit teringat kata temanku, minggu pertama di luar negeri itu masih dalam mode turis, jadi hasrat untuk menjelajahi berbagai tempat masih sangat kuat. Berarti sekarang ini masih mode turis, jadi sepertinya bukan hal buruk ketika aku tergoda untuk melihat menara super tinggi itu.

Lalu aku mencari pintu keluar dari Stasiun Oshiage yang langsung mengarah ke Tokyo Skytree. Baru saja keluar, menara yang menjulang begitu tingginya sudah terlihat dari kejauhan. Tanpa melihat Google Maps, aku melangkah ke arah menara tersebut. Tak lupa aku memotretnya saat menemukan spot terbaik. Asalnya hendak selfie seperti kebiasaan  anak muda Indonesia, tapi urung karena beberapa kali backlight. Alhasil kuteruskan saja perjalanan sambil menikmati pemandangan menjulangnya Tokyo Skytree.

Saat aku tiba di Stasiun Tokyo Skytree, tiba-tiba aku terpikir untuk melanjutkan jalan-jalan hingga Asakusa. Mumpung jaraknya dekat, pikirku. Lagipula aku tak begitu berniat untuk menjelajah hingga ke dalam Skytree. Segera kucari rute menuju Asakusa. Ah, ternyata harus naik kereta yang ke arah Asakusa menggunakan line Tobu Skytree.

Di dalam kereta, dalam benak hanya tergambar Senso-ji, kuil Buddha megah yang merupakan ikon Asakusa. Tak lama kemudian, aku melihat pemandangan menakjubkan dari jendela densha.  Kereta yang kutumpangi itu menyeberangi sungai besar yang indah sekali. Keindahannya semakin didukung oleh pantulan cahaya lampu yang membaur dengan riak air. Langit petang yang sedikit kemerahan pun ikut serta memanjakan mata. Aku mencoba mengecek di peta, ternyata itu Sungai Sumida.

Bisikan lain muncul. Aku harus ke sana juga, katanya begitu.

Sampailah aku di Stasiun Asakusa yang begitu ramainya. Baiklah, intinya tujuanku hari ini adalah Sungai Sumida dan Senso-ji, sekarang aku harus ke arah mana dulu? Dari map, ternyata masih lebih dekat ke Sumidagawa. Aku pun berjalan ke arah kiri, sedikit memutari stasiun lalu berjalan lurus. Keramaian Asakusa ternyata meleber sampai trotoar di berbagai sudut, tak hanya di stasiunnya saja. Dari kejauhan sudah terlihat taman di sisi sungai yang begitu bersih.

Tamannya ternyata bertingkat-tingkat. Pertama kususuri dulu yang paling dekat dengan jalan raya. Gedung-gedung terlihat sangat indah di seberang sana. Tak hanya itu, Sungai Sumida semakin menggodaku dengan menunjukkan sebuah kapal yang melintasinya. Aku pun turun satu tingkat dan berdiri di tangga paling atas yang persis menghadap ke Tokyo Skytree yang terlihat indah dengan lampu-lampunya. Lalu aku mencoba turun ke tingkatan paling bawah untuk menikmati keheningan.

Saat aku turun, entah kenapa sensasinya sangat berbeda. Atmosfer megapolitan Tokyo semakin terasa. Sesekali densha terlihat melaju di kejauhan, menyeberangi sungai. Mataku terus menatap sungai yang indah itu. Sementara gedung-gedung tinggi tak bergeming, kapal untuk wisatawan melintas dan membentuk riakan. Aku membayangkan seandainya aku menetap lebih lama di Jepang untuk melanjutkan studi atau bekerja, mungkin sisi Sungai Sumida akan menjadi pelarian sementara dari stres. Tentu saja harus pada saat sunyi seperti ini, karena tempat ini bisa menjadi sangat padat di kala festival hanabi

Setelah menyusuri taman yang beralaskan paving block, aku memutuskan untuk pergi ke Senso-ji. Jalur yang kulalui cukup jauh, hingga aku melintasi Jalan Asakusa Nakamise. Ternyata ini adalah shoutengai (daerah tempat toko dan restoran berjajar di sisi jalan kecil) yang terdapat banyak sekali restoran Jepang dan toko oleh-oleh khas Negeri Sakura tersebut. Tak perlu mengecek map karena tinggal jalan lurus hingga lampion raksasa gerbang utama Senso-ji terlihat. Perjalanan hari ini cukup mengasyikkan karena selain tak terlalu ramai juga tak harus berpanas-panasan.

Ternyata sama sekali bukan ide buruk untuk mengunjungi Senso-ji di malam hari. Meski banyak toko yang tutup, tapi kepuasanku terbayar oleh iluminasi mengagumkan kuil Buddha yang megah itu. Belum lagi keindahan pagoda yang berdiri di sebelah kiri kompleks kuil, membuatku seperti berada di alam fantasi. Pemandangan kuil yang dipenuhi iluminasi sangat kontras dengan langit yang gelap. Apalagi kuil didominasi oleh warna merah dan kuning mencolok.

Kuil yang kini ramai dikunjungi ini dulunya hanyalah kuil kecil tempat menyimpan patung Dewi Kannon yang ditemukan nelayan di dalam sungai. Lalu tempat ini dijadikan kuil keluarga Keshogunan Tokugawa dan dibangun menjadi lebih besar. Senso-ji ini seringkali disandingkan dengan Kaminari-mon yang menjadi tempat wisata ikonik.

Sesekali terlihat ada satu atau dua orang Jepang yang berdoa tepat di bawah lampion raksasa di bangunan utama kuil. Sekilas aku membayangkan betapa ramainya kuil ini ketika orang-orang datang untuk beribadah saat tahun baru. Bangsa Jepang yang kata kebanyakan orang tidak religius itu bagaimanapun juga masih mempercayai keberadaan Tuhan, meski mereka tak menganut agama yang tetap.

Sudah pukul setengah 10, aku pun memutuskan untuk pulang. Aku kembali melewati Jalan Nakamise untuk mampir ke toko oleh-oleh sebentar. Siapa tahu ada yukata seharga 3.000 yen yang sempat diceritakan teman internship. Sayangnya karena banyak toko yang tutup, aku hanya bisa melihat ke satu toko yukata saja. Di sana hanya ada yang harganya 5.000 sampai 10.000 yen. Mahal sekali. Pada akhirnya aku hanya membeli sapu tangan bergambar geisha dengan gambar sakura di sekelilingnya. Sebelum benar-benar pulang, aku menikmati makan malamku di kaitenzushi, tentu saja dengan wasabi yang terselip di antara ikan dan kepalan nasi yang lezat.

Intinya, pada hari ini, berawal dari Tokyo Skytree aku tak jadi pulang cepat. Berawal dari Tokyo Skytree, aku semakin tergoda untuk melanjutkan petualangan lainnya di Jepang.

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images