My First Step in Japan (日本での第一歩) ~Kesan Saat Tiba di Jepang~

2:47 AM


Perjalanan di atas awan yang terasa panjang membuatku sesekali memejamkan mata, mengalah pada rasa kantuk. Bosan memejamkan mata terus menerus, jendela pun menjadi pengalih perhatian. Ah, cahaya matahari sudah mengambil alih pemandangan langit yang sejak 5 jam lalu gelap gulita. Berkat hari yang menjadi terang, aku dapat melihat laut biru dan pulau-pulau hijau di bawah sana. 

Sudah sampai manakah ini, tanyaku sembari mengecek peta penerbangan di layar sentuh. Peta itu menunjukkan simbol pesawat yang sudah berada di bagian selatan Jepang. Aku lega, ternyata sudah memasuki negara tujuan. Mungkin pulau yang tadi kulihat itu Okinawa dan sekitarnya. Semakin waktu bergulir, semakin pesawat turun menuju ketinggian tertentu, hingga aku melihat jelas perubahan dari pulau yang dipenuhi hutan dan pedesaan menjadi gedung dan kompleks industri yang padat memenuhi pesisir. Lalu gedung-gedung itu seolah berteriak “Tokyo e youkoso (Selamat datang di Tokyo)” kepadaku.

Tepatnya pada pukul 10 siang, kedua kakiku telah berpijak di atas tanah Negeri Matahari Terbit. Negeri di mana segala hal futuristik lahir, mulai dari karaoke hingga robot. Negeri di mana yang tadinya hanya kulihat dari atas langit, kini telah kurasakan atmosfirnya dengan seluruh inderaku. Mulai dari detik itulah, dimulai tantangan untuk membuktikan apakah semua yang kutahu tentang negeri ini sesuai dengan kenyataan atau tidak.

Baiklah, pengamatan pertama kumulai dari saat memasuki bandara Haneda. Kedua mataku sibuk mengamati dinamika orang-orang di sekeliling. Sambil melangkah menuju tempat pengambilan baggage, perbedaan pertama mulai kusadari, yaitu ritme langkah. Bila diibaratkan film, aku seperti terjebak dalam film fast-motion. Serba cepat, seperti mengejar sesuatu yang tak kasat mata.

Setelah mengambil koper, aku dan teman-teman menuju tempat penjemputan untuk bertemu dengan salah satu pihak penyelenggara magang. Ternyata ia sudah berdiri menyambut kami. Wanita ramping berambut pendek itu tersenyum ramah dan menanyakan kesan selama di perjalanan. Menyadari wajah letih kami, ia cepat-cepat mengajak kami untuk beranjak menuju penginapan. Selama mengikuti langkah cepatnya, aku sudah menduga akan segera ada pengamatan kedua.

Dan benar saja, pengamatan keduaku jatuh pada kendaraan utama para penduduk Negeri Sakura. Apa lagi kalau bukan densha. Kami bercakap-cakap sambil menunggu kedatangan kereta rel listrik itu di platform. Kurang lebih 20 menit kemudian kendaraan cepat itu meluncur mengusik udara di sekitar. Tepat saat pintu kereta terbuka, aku menyiapkan diri untuk pengamatan kedua yang lebih intens. Aku seolah disambut dengan kata-kata “Selamat datang di densha pertama”.

Sepanjang perjalanan, pihak penyelenggara itu mengajakku berbincang-bincang. Tentang kesanku naik densha, tentang pekerjaan sampinganku di Bandung, hingga mengantarkanku pada pertanyaan,

“Dari sini, kita ke stasiun mana lagi?”
“Ke Takasago. Sekitar setengah jam lagi kita akan ganti kereta di sana”

Takasago? Nama yang sangat asing. Aku bahkan tidak pernah mendengar maupun menemukan nama itu selama 3 tahun belajar bahasa Jepang. Selama persiapan berangkat ke negeri ini, nama tempat yang sudah kucari tahu sebelumnya hanyalah Shibamata, Katsushika, Jinbocho, dan Chiyoda. Sama sekali tak terpikir nama itu akan keluar. Aku bertanya dalam hati, selanjutnya hal asing apakah yang akan membingungkan pendatang baru sepertiku?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kami turun di stasiun bernama Takasago. Katanya, dari sini naik satu kereta lagi untuk sampai di Shibamata, tempat di mana penginapan kami berada. Untuk kedua kalinya aku berjuang menyeret koper, menaiki tangga hingga membawanya masuk ke gerbong kereta. Siang yang terik itu stasiun Takasago terbilang cukup ramai meski bukan stasiun pusat kota Tokyo.

Tak sampai 10 menit, kereta tiba di stasiun Shibamata. Stasiun kecil dan terlihat tua itu sesuai dengan yang kucari tahu melalui internet. Apalagi saat melewati dua patung ikonik di depan stasiun. Mulai dari hari ini hingga 3 minggu ke depan, aku akan sangat familiar dengan patung wanita muda dan patung pria dewasa bersetelan kantor yang terbuat dari batu berwarna coklat tua itu.

Untuk kesekian kalinya kami berjuang menyeret koper. Rute kali ini adalah dari stasiun Shibamata ke penginapan. Kalau kulihat dari Google Maps, menghabiskan waktu kurang lebih 10 menit untuk berjalan kaki ke sana. Tubuh yang belum menyesuaikan diri dengan cuaca musim panas Jepang ini mau tak mau harus berjuang dengan beban berat koper. Alhasil keringat dan udara pengap pun menyiksa selama perjalanan. Hufth!

Akhirnya kami tiba di penginapan. Untunglah udara di dalam sejuk karena dipasang pendingin ruangan. Setelah menyimpan barang-barang di kamar dan hanya sempat mencuci muka, aku segera ke ruang tamu untuk briefing singkat. Jam 2 lewat 3 menit briefing dimulai karena semua sudah berkumpul. Kami membicarakan tentang rencana yang akan dilakukan pada hari ini, persiapan untuk hari pertama ke tempat internship, dan peraturan hotel. Pada intinya, semua total dilakukan oleh sendiri, termasuk urusan makan. Antara membeli di luar atau memasaknya sendiri. Dan tentu saja, semua harus tepat waktu. 

Pikiranku masih mengawang-awang. Lelah masih bercampur dengan kebingungan yang tak dapat digambarkan kata-kata. Aku masih tak tahu apa yang harus kulakukan ke depannya. Aku tak tahu ke arah mana aku akan pergi dan kembali. Saat itu, apa yang telah kucari tahu sebelumnya, apa yang telah kupelajari hingga akar-akarnya seolah menguap begitu saja. Dan hal-hal yang dipaparkan selama briefing pun seolah tak menemukan tempat yang tepat di kepalaku. Jangankan menerima informasi baru, untuk hal sesederhana makanan untuk esok hari saja tak terpikir sama sekali dalam otak.

Untuk persediaan makanan, kami berbelanja ke supermarket terdekat diantar oleh pihak penyelenggara magang. Pada saat kembali ke penginapan, yang terpikir olehku hanya satu, yaitu bagaimana cara mengatur kembali pikiran yang masih acak-acakan. Sedikit aku mendiagnosis keadaan tubuhku sendiri. Oh iya, kalau tidak salah aku juga pernah mengalami hal semacam ini. Semacam kebingungan yang bercampur dengan bad mood. Setiap potongan kegiatan bermunculan dalam benak, kuingat baik-baik apa yang kulakukan setiap mengalami hal tidak mengenakkan itu. Dan saat memoriku sampai pada satu titik, aku baru ingat apa yang harus kulakukan. Mandi dan makan. Sesimpel itu sebenarnya.

Aku pun melakukan hal pertama untuk recovery mood, yaitu mandi. Ya, ini adalah mandi pertamaku di Jepang. Baiklah akan kulihat berapa persen mood yang akan mengisi tubuh yang masih kelelahan ini. Aku yang biasa mandi dengan air hangat ini merubah pikiran 180 derajat dengan memilih air dingin. Tak apalah, kupikir wajar sesekali berubah pikiran. Apalagi di luar matahari musim panas sangatlah terik hingga membuat keringat keluar tak henti-hentinya. Meski agak kedinginan, kegiatan recovery mood pertama selesai dilakukan. Seperti yang diharapkan, mood kembali sebanyak 60%. Bersamaan dengan itu, 50% dari isi briefing berhasil kucerna.

Selanjutnya, sesuai dengan yang kurencanakan, aku memutuskan untuk makan. Sebetulnya sebelum berbelanja tadi kami sempat makan sushi, tapi tetap saja belum berperan penuh mengembalikan mood-ku. Makan malam yang masuk ke perutku adalah karaage, tumis sawi, dan abon. Meski sederhana, tapi sudah sukses mengisi mood sebanyak 40%. Alhasil, diriku kembali bersemangat dan segala tentang kehidupan di Jepang telah tergambar sepenuhnya. Aku pun berteriak kegirangan dalam hati dan berkata,

“Aku siap untuk berpetualang esok hari!!”

You Might Also Like

2 comments

Like us on Facebook

Flickr Images