Pertemuan Dengan Cahaya dari Utara (北光との出会い) ~Pengalaman Pertama Magang di Jepang~

2:50 AM

Bersama tantousha

10 Juli 2017

Pagi itu, aku terbangun dengan sisa kelelahan dari jalan-jalan kemarin. Enam puluh persen kesadaranku berkata bahwa hari ini adalah hari yang sangat, sangat penting. Saat kesadaranku bertambah menjadi 80%, aku segera bangkit dari futon dengan keempukan dan kehangatannya yang menggoda. Sebetulnya, aku sudah tersadar dari alam mimpi ketika alarm dari HP temanku berbunyi nyaring. Sepertinya aku akan sangat familiar dengan dering alarm itu.

Kuhadapkan wajah ke samping kiriku. Rupanya teman internship-ku belum bangun. Perlahan kuguncang lengan kirinya seraya memanggil namanya. Sekali, dua kali, perempuan berambut pendek itu belum juga membuka mata. Barulah di guncangan ketiga, ia bangun dengan mata mengerjap-ngerjap sambil mengumpulkan kesadaran. Mencoba keluar dari alam mimpi untuk menyambut hari pertama internship kami semua. Lalu kami bersiap-siap mandi dan menyiapkan setelan untuk ke kantor hari ini.

Pada akhirnya setelan jas yang pernah kupakai untuk memperjuangkan program magang ini (cerita tentang seleksi program magangnya ada di sini) kupakai kembali. Saat jas hitam bergaris vertikal samar itu menyentuh kulit, rasa takut sedikit menggelayuti benak. Akan seperti apakah hari-hari magang yang akan kuhadapi? Apakah aku akan mengalami lagi kejadian kelam saat magang 4 tahun lalu? Tetapi cepat-cepat kuusir pikiran negatif itu. Tidak, tidak ada yang perlu ditakutkan, gumamku. Untuk apa takut, toh doa orang tua selalu menyertai.

“Semua udah siap?”

Sang ketua mencoba memastikan kesiapan para anggotanya. Karena masih ada beberapa yang mondar-mandir sambil menyiapkan sarapan maupun memasang dasi, aku dan sang ketua memilih untuk menunggu di ruang makan penginapan. Entah kenapa aku merasa sorot matanya lebih serius dibanding saat akan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta.

Tak lama enam orang peserta internship telah berkumpul dengan setelan jas serba hitam. Tepat pada pukul 7:15, kami keluar dari penginapan dan berjalan cepat menuju Stasiun Shibamata. Inilah langkah pertama kami untuk berjuang mempelajari sampel kesuksesan bangsa Jepang sampai 18 hari ke depan. Selama menunggu kedatangan densha, kuingat-ingat rute menuju tempat magangku yang menjadi tempat disambutnya kami sebagai peserta internship.

Sekitar pukul 7:20, densha ke arah Stasiun Takasago tiba. Dari jendela gerbong aku melihat kepadatan penumpang dengan sangat jelas. Sungguh aku terkejut menyadari betapa padatnya para pekerja dan pelajar di dalam sana. Ternyata cerita mengenai rush-hour sama sekali bukan mitos. Bahkan saat kami masuk ke gerbong yang penuh sesak, orang di dekat pintu harus didorong dari luar agar benar-benar berada di dalam gerbong. Selama kurang lebih 10 menit aku harus tahan dengan posisi berdiri sambil berdesakan dengan penumpang lain, hingga berganti kereta dari jalur Keisei ke Hanzomon. Untunglah saat masuk kereta selanjutnya di jalur Hanzomon, kami tak berdesakan seperti tadi.

Akhirnya kami tiba di Stasiun Jinbōchō setelah menghabiskan waktu kurang lebih 40 menit di perjalanan. Saat berjalan dari mencari pintu keluar hingga benar-benar keluar dari stasiun, barulah aku benar-benar merasakan atmosfir pekerja keras di Jepang. Dari segala arah banyak orang yang bersetelan formal berjalan cepat dengan kecepatan yang teratur. Karena sudah pukul 8:40, kami pun mengejar waktu dengan berjalan cepat seperti mereka. Kami sama sekali tak ingin terlambat di hari pertama, mengingat kami harus sudah berada di kantor pukul 8:45.

Tepat di depan mata terpampang nama tempat magangku. Untung tak salah lantai saat menggunakan lift tadi. Mataku mencari-cari pintu masuk kantor. Ah, di sebelah kiri ada pintu yang terbuka. Mungkin sudah ada para staf yang berkumpul. Perlahan aku maju, beberapa langkah lebih dulu dari kelima temanku. Loh, tak ada siapapun. Tetapi di depan sana masih ada satu pintu lagi. Apakah mereka ada di balik pintu itu?

Oh ya, sebelum kuceritakan kelanjutannya, lebih baik aku menjelaskan dulu perusahaan tempatku magang ini. Perusahaan ini bernama Northern Lights (ノーザンライツ株式会社) yang memiliki salah satu service yaitu menjembatani mahasiswa asing yang hendak kerja paruh waktu dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Perusahaan yang mendirikan kantor di Tokyo dan Osaka ini juga membuka sekolah bahasa Jepang di Bandung bernama Northern Lights Education Center (NLEC).

Baiklah, kulanjutkan lagi ceritanya. Perlahan kuketuk pintu berwarna putih tersebut. Tak ada jawaban. Barulah pintu terkuak saat aku mengetuk kedua kalinya. Orang yang membukakan pintu tersenyum lebar. Sebelum ia memberi salam, aku sudah menyalaminya lebih dulu dengan berkata, “Ohayō gozaimasu!”. Lalu teman-temanku yang lain mengikuti.

Sontak seluruh mata staf tertuju pada kami. Kemudian mereka menjawab salam kami dengan ramai. Beberapa di antaranya melemparkan senyum manis. Ternyata semua orang sudah sibuk di depan komputer masing-masing. Tak lama kemudian ibu penanggung jawab program magang yang menjemput kami di bandara menyambut dengan wajahnya yang selalu tersenyum. Hal pertama yang kulakukan adalah meminta maaf karena sedikit terlambat, mengingat jam menunjukkan pukul 8:47. Untunglah tak menjadi masalah yang besar. Kami langsung dipersilakan duduk di bangku yang terletak cukup jauh dan diajak berbincang-bincang.

Saat kami ditinggal sejenak, tiba-tiba datang seorang perempuan bersetelan hitam dengan rambut panjang yang diikat kuda. Ia tersenyum dan memperkenalkan diri sebagai tantousha (penanggung jawab) peserta magang. Setelah itu ia meminta kami menyebutkan nama, terkecuali aku. Loh mengapa begitu? Karena perempuan itu mengaku telah mengetahui namaku. Ah, dari situ aku sudah berfirasat nanti pasti akan sering melakukan banyak hal bersama dia yang katanya berasal dari China itu.

Seluruh staf yang tadi sibuk tiba-tiba berdiri di sekeliling ruang kantor. Kami pun diminta untuk ikut berdiri, bergabung ke forum dadakan itu. Dari kejauhan terdengar seseorang membuka forum, tapi aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya. Begitu juga saat beberapa orang berbicara secara bergantian. Aku tak dapat menangkap maksud pembicaraan mereka. Apakah setiap pagi aku akan mengikuti forum semacam ini?

Ketika forum dialihkan pada pembicaraan mengenai tujuan kedatangan kami, ibu penanggung jawab mempersilakan aku dan kelima orang lainnya memperkenalkan diri. Secara berurutan, kami menyebutkan nama dan asal universitas. Tak lama dari situ, forum ditutup saat semua mengucapkan “Yoroshiku onegaishimasu!” sambil ojigi (membungkuk hormat) secara serentak.

Tak lama setelah forum, kami bersiap ke ruang rapat untuk bertemu dengan tantousha peserta magang dari perusahaan lain. Di sekeliling meja lonjong telah duduk beberapa orang—perempuan maupun laki-laki— bersetelan jas maupun kemeja semi formal. Sedangkan kami duduk berhadapan dengan mereka di kursi yang merapat ke dinding, terpisah dari meja rapat. Setelah semua siap, acara penyambutan peserta internship pun dimulai. Baik para tantousha maupun peserta magang memperkenalkan diri. Sebagai tambahannya, kami diminta untuk menjelaskan motivasi dan target mengikuti program internship. Tak hanya itu, di acara itu juga kami diberi kesempatan untuk bertukar meishi (kartu nama).

Acara penyambutan selesai dan teman-temanku berpencar menuju tempat magang bersama tantousha masing-masing. Karena sudah memasuki jam makan siang, aku diajak oleh tantousha untuk makan siang di luar bersama atasan dan satu orang peserta magang dari Vietnam. Seperti temanku saat jalan-jalan kemarin (ceritanya di sini), tantousha-ku mengerti bahwa aku tak boleh makan makanan tertentu. Akhirnya kami pergi ke restoran Thailand yang dirasa tak menggunakan bahan-bahan tersebut.

Setelah makan siang, barulah dimulai sesi pengenalan lingkungan kantor. Ternyata aku mendapat meja kerja beserta komputer untuk aku bertugas selama magang. Melihat papan tulis kecil di samping monitor bertuliskan “Selamat datang di Northern Lights” saja membuatku sadar bahwa orang-orang menyambutku dengan baik. Dari tantousha, aku mendapat penjelasan mengenai berbagai hal. Mengenai berbagai departemen di perusahaan dan mengenai misi pertama untuk mempromosikan salah satu service perusahaan melalui media sosial. Lantas kubuka akun Facebook sesuai instruksinya dan mulai bekerja.

“Oh ya, biasanya di sini diadain chourei (semacam briefing singkat yang membahas rencana kerja di hari itu setiap pagi) tiap jam 9 pagi. Jadi kamu datengnya jam segitu, sekalian ngajarin bahasa Indonesia,” ujar tantousha-ku dengan bahasa Jepang berlogat Mandarinnya yang kental.

“Hah? Bahasa Indonesia? Ngajarinnya kayak gimana?” aku menoleh sembari menyembunyikan rasa terkejut. Mengajar bahasa Indonesia katanya?

“Yang simpel-simpel aja. Kamu pake kertas ukuran A4 aja buat tulisannya. Setelah kamu ngajar, nanti kertas itu ditempel di tembok sana,” ia menunjuk salah satu sudut di samping kanan, “Biar staf di sini bisa baca tiap saat”

“Jadi setiap chourei kamu harus siapin materinya ya”

Sambil menjawab chat dari senior maupun dosen yang kukirimi promosi service perusahaan, pikiranku mengawang-awang. Apa yang harus kuajarkan besok? Apa yang harus kutulis di kertas A4? Dan bagaimana caraku menyampaikannya kepada mereka? Oh tidak, aku harus mempersiapkannya mulai dari malam ini!

Aku mulai berdebar-debar. Akan seperti apakah pengalaman pertamaku mengajar bahasa Indonesia besok di bawah naungan "Cahaya dari Utara" ini?

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images