Sakura di Musim Panas (夏の桜) ~Pengalaman Pakai Yukata di Jepang~

1:27 AM


15 Juli 2017

Mendekati berakhirnya minggu pertama di Tokyo, seharusnya ada kegiatan homestay pada saat weekend di rumah salah satu pegawai perusahaan tempat magang. Namun lain halnya dengan aku dan ketiga orang teman yang tidak berkesempatan homestay. Ada yang alasannya karena pegawai yang bersangkutan sibuk, dan sebagainya. Maka dari itu, sebagai gantinya aku diajak oleh tantousha untuk berjalan-jalan sambil memakai yukata. Kedengarannya sangat mengasyikkan. Sudah sangat afdol rasanya bila jalan-jalan di Jepang, terutama di ibukotanya sambil memakai yukata.

Kami memutuskan untuk bertemu di Stasiun Hikifune pada pukul 3 sore. Sepuluh menit setelah waktu yang ditentukan, kami bertemu juga dengan salah satu pegawai penyewaan yukata. Lalu kami bertiga langsung berjalan kaki kira-kira 10 menit ke tempat penyewaan. Untunglah aku sudah membeli payung hitam khusus untuk musim panas di konbini, mengingat hari itu sangatlah terik.

Sesampainya di tempat penyewaan, sang pegawai memberi waktu untuk memilih kimono dengan motifnya yang bermacam-macam. Di berbagai sudut tersedia banyak jenis yukata untuk laki-laki dan perempuan dalam berbagai warna. Aksesoris seperti obi terdapat di beberapa dus, siap dipasangkan dengan yukata warna apapun. Aku dan tantousha sedikit kebingungan memilih warna dan motif yang cocok, karena hampir semuanya bagus. Kadang-kadang kami diberi rekomendasi oleh pegawainya yang sangat ramah.

Karena aku memakai kerudung berwarna pink muda, aku hanya mencari yang motifnya berwarna pink. Di antara yukata yang digantung menjuntai ke bawah, ternyata ada beberapa model yang sesuai. Ada yang berlatar hitam dengan motif bunga sakura yang tersebar, dan ada yang berlatar ungu gelap dengan motif bunga yang cukup besar. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya pilihanku jatuh pada yukata berlatar hitam, mengingat tips fashion yang mengatakan bahwa pink akan terlihat stunning dengan hitam. Elegan dan feminin dalam waktu bersamaan.

“Kayaknya aku pilih yang ini deh”. Dengan mantap kupisahkan pakaian ala musim panas itu dari deretan pakaian lainnya. Namun dibalik kemantapan itu, ingin rasanya aku berkaca seorang diri. Ingin rasanya aku mematut-matut diri terlebih dahulu, apakah mereka bisa menerima perpaduan antara hijab dan yukata yang latar belakangnya saling berjauhan?

Pegawai penyewaan membantuku memakai yukata. Setelah ia menyilangkan kedua sisi yukata dan memasang obi di sekeliling perut dan pinggul, aku dapat melihat dengan jelas pesona pakaian ini. Bahannya yang ringan, meski di bagian lengannya menggantung cukup panjang. Motif bunga sakura di atas kain berwarna hitam legam ini begitu memesona. Seperti pemandangan gugurnya sakura di malam hari. Untunglah pegawai itu tak mempertanyakan lebih lanjut tentang hijabku. Ia membiarkan saja perpaduan dua budaya yang diwakili oleh hijab dan yukata itu terjadi.

Aku berdiri sejenak di depan cermin ruang ganti. Sama sekali tak ada yang salah dengan penampilanku. Aku bersyukur karena mereka seolah saling berpadu tanpa meributkan siapa yang harus menjadi pusat perhatian. Hijab pashmina polos yang memberi warna tema utama dan yukata yang mempertegas tema dengan motifnya. Seandainya manusia bisa hidup rukun seperti hijab dan yukata yang saling melengkapi itu.

Setengah jam kemudian, aku dan tantousha sudah siap dengan setelan tradisional ala musim panas. Oh ya, kami harus menunggu satu orang pelanggan yang masih memilih-milih yukata. Perempuan yang ternyata berkebangsaan Belgia itu juga tak banyak berkomentar mengenai hijabku. Syukurlah. Jadi aku hanya terfokus pada pikiran bahwa hari ini keempat manusia dari 4 kebangsaan berbeda—termasuk pegawai penyewaan juga— telah berkumpul dalam setelan yang homogen.

Setelah semua siap, kami langsung taiken (merasakan atau mengalami) memakai yukata sambil berjalan kaki menikmati suasana kota. Rute pertama kami adalah sebuah jinja yang jarak tempuhnya 10 menit. Sepanjang perjalanan kami mengobrol banyak hal. Sesekali aku menanggapi pembicaraan sang pegawai dengan bahasa Jepang, dan sesekali mengajak perempuan Belgia itu bicara dalam bahasa Inggris. Untunglah aku masih bisa mengimbanginya meski sudah lama sekali tak berlatih conversation.

Akhirnya aku dan ketiga orang lainnya tiba di kuil Shinto. Sebagai langkah pertama, kami berfoto secara bergantian tepat di bawah torii (gerbang kuil). Kemudian kami menjelajahi bagian dalam kuil yang sangat sunyi sambil mencari spot bagus. Meski bukan tempat terkenal, tapi jinja yang sebagian besar dibangun dengan bebatuan itu terlihat indah. Di bagian belakangnya ada beberapa torii berwarna merah yang berderet menyerupai suasana Kuil Fushimi Inari di Kyoto. Cukup bagus untuk dijadikan spot. Aku pun mendapat salah satu foto terbaik di sana.

Perjalanan dilanjutkan ke Sumidagawa. Kenanganku tentang sungai terkenal di Tokyo itu perlahan bangkit. Pemandangan malamnya yang menakjubkan masih sangat terbayang. Kini aku akan melihat versi sorenya. Pasti takkan mengecewakan.

Benar saja. Setelah menyeberangi jalan raya dan menaiki tangga yang cukup tinggi, tibalah kami di jembatan besar yang membelah sungai. Angin yang cukup kencang membuat lengan dan bagian bawah yukata menari-nari dengan semangat. Di lihat dari atas, air sungai yang beriak memantulkan cahaya sore. Tokyo Skytree kini tidak memamerkan lampu-lampu mungilnya. Berlatar Sumidagawa dan Tokyo Skytree, kami kembali berfoto secara bergantian.

Tak terasa aku telah menghabiskan waktu dua jam lebih untuk ber-yukata. Tur singkat pun selesai. Aku dan tantousha berpisah di Stasiun Hikifune. Nanti ketika teman-teman sudah berkumpul esok hari, aku sudah siap dengan cerita menarik pada hari ini. Tak perlulah aku iri pada mereka yang menikmati masa homestay, toh aku akan berbangga karena telah melihat sakura di musim panas, yang berpadu dengan serasi bersama hijab.

Untuk foto selengkapnya ada di akun instagram ini https://www.instagram.com/p/BYK4Q4KgvAr/

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images