Gradasi Tradisional dan Modern (伝統と現代の暈し) ~Jalan-jalan di Imperial Palace dan Tokyo Tower~

2:08 AM


9 Juli 2017

“Pokonya, sehari setelah sampe di Jepang, masing-masing dari kita harus tau rute ke tempat magang”

Begitulah kata leader kelompok peserta magang pada kelima anggotanya saat masa pelatihan bulan Juni. Saat itu aku dan keempat orang  yang lain masih mengawang-awang tentang cara naik dan ganti densha. Demikian juga pada hari kedua di Negeri Sakura. Untunglah aku bisa naik densha dari Stasiun Shibamata bersama sang ketua yang sudah pernah ke Jepang sebelumnya dan satu orang kawan lagi, meskipun nanti akan berpencar di Stasiun Oshiage.

Karena tempat magangku terletak di daerah Jinbocho, rute yang akan kulalui pertama adalah dari Stasiun Shibamata sampai Stasiun Jinbocho. Dengan berbekal aplikasi Yahoo! Norikae Annai, aku memperhatikan dengan seksama stasiun mana saja yang akan dilewati. Di dalam aplikasi tersebut tercantum jelas di mana aku harus norikae (berganti kereta) beserta jam keberangkatan dan jam tiba kereta. Meski sudah tertulis secara detail, aku sama sekali belum mengerti. Untunglah ketua kelompok mau menjelaskan padaku. Katanya dari Oshiage aku harus naik kereta ke arah Chuo Rinkan di line kedua dan turun di Jinbocho setelah melewati 7 stasiun.

Dan dimulailah petualangan pertamaku seorang diri di stasiun yang dipenuhi kehidupan fast-motion ini. Stasiun yang berdekatan dengan lokasi Tokyo Skytree ini sangat ramai oleh orang yang menghabiskan waktu akhir pekan. Aku yang masih belum berpengalaman naik densha ini mau tak mau harus mengikuti langkah cepat  mereka yang melewati kaisatsuguchi (pintu tiket) dan berpencar menuju beberapa line. Sekali lagi aku melihat aplikasi, di sana tertulis line nomor 2. Ah, ada di sebelah kanan.

Sebuah densha telah menanti tepat setelah aku menuruni tangga. Pada layar di atas pintu otomatis tertulis kanji 中央林間行 (pergi ke arah Chuo Rinkan), persis seperti pada aplikasi. Berarti aku harus naik ini, gumamku. Kereta pun melaju empat belas menit kemudian, membawa penumpang yang memenuhi tempat duduk dan ada yang berdiri sebagian. Bersama beberapa penumpang, aku berdiri di dekat pintu otomatis, menjadi satu-satunya yang mengenakan hijab di gerbong.

Setelah melalui masa-masa was-was mengamati rute di aplikasi maupun di layar pemberitahuan, densha yang kutumpangi tiba juga di Stasiun Jinbocho. Layar yang tadinya menampilkan aplikasi Yahoo! Norikae Annai mulai kualihkan menjadi Google Maps. Kini saatnya aku was-was dengan jalan yang akan kulalui dengan kedua kaki ini. Aku langsung berjalan cepat keluar dari kereta dan mencari pintu keluar stasiun.

Aku menaiki eskalator yang mengarahkanku pada pintu keluar. Ternyata ada pintu keluar A1 dan A2 di atas sana. Beberapa meter dari kaisatsuguchi, terpajang peta dalam bingkai persegi panjang yang cukup lebar. Kulihat peta itu baik-baik untuk menentukan pintu keluar mana yang akan kupilih. Namun sayangnya aku tak begitu memahami rute karena sangat sedikit keterangan di sana. Kebetulan ada seorang pemuda Jepang yang juga sedang melihat peta. Lantas kutanya ia secara perlahan,

Sumimasen, Shougakukan wa doko ni arimasu ka? (Permisi, gedung Shougakukan ada di mana ya?)”

Aku menunjuk tulisan Shougakukan pada peta, yang menjadi patokan arah menuju tempat magang. Pemuda itu melihat dengan seksama dan menelusuri jalur pada gambar.

Shougakukan? Mm.. sou desu ne.. (Shougakukan ya.. Hmm..)”

Ia terlihat berpikir sejenak sambil melihat peta dengan jeli. Lalu ia memberi isyarat kepadaku agar mengikutinya. Pemuda itu berjalan mendahuluiku melewati eskalator, menaiki tangga dan belok ke kiri hingga tiba pada pintu A1. Di tengah jalan aku sempat bertanya apakah ia sedang terburu-buru atau tidak. Ia hanya tertawa dan berkata masih ada waktu hingga kereta datang. Tak hanya sampai pintu keluar, ternyata ia juga berjalan sejauh 20 meter dan menunjukkanku pada sebuah perempatan besar di kejauhan.

Tabun, ano kousaten kara migi ni magaru to, Shougakukan ga mieru kamoshirenai (Mungkin kalau belok kanan dari perempatan itu, akan terlihat Shougakukan),” ujar pemuda berusia dua puluhan itu.

Arigatou gozaimashita. Meiwaku wo kakete sumimasen (Terima kasih. Maaf telah merepotkan)”

Iie, iie (Oh, tidak kok),” kami saling membungkuk salam dan ia pun kembali ke stasiun.

Betapa baiknya pemuda itu! Ia rela mengorbankan waktu dan tenaganya hanya untuk menunjukkanku jalan. Siapapun dia, aku yakin ia adalah orang yang sangat baik. Aku melanjutkan perjalanan setelah pemuda itu menghilang di balik tembok pintu A1.

Jalan di Jinbocho saat itu disinari oleh matahari musim panas yang panasnya sangat menusuk. Hanya sedikit angin yang menyapa. Sesekali aku berjalan di bawah bayangan gedung dan pohon yang berdiri di sepanjang trotoar. Aku tetap berjuang mengikuti arahan Google Maps meski terkadang layar ponsel tak terlihat karena saking cerahnya hari itu. Setelah berjalan selama 10 menit aku tiba di depan gedung tempatku magang nanti, yang letaknya tak jauh dari pos polisi.

Teringat akan janji dengan teman orang Jepang, aku langsung kembali ke Stasiun Jinbocho untuk naik kereta menuju Stasiun Nijuubashimae. Mengapa stasiun itu yang menjadi tujuan selanjutnya? Itu karena kami telah mengagendakan acara jalan-jalan di Imperial Palace atau yang dalam bahasa Jepang disebut Koukyo (皇居), tepat di depan stasiun tersebut. Bila kulihat sekilas melalui Google Maps, ada satu area di mana terdapat semacam lapangan berkerikil yang sangat luas, dan di area lainnya terdapat jembatan yang cukup ikonik bernama Nijuubashi.

Pukul setengah dua siang, aku mendadak kesulitan untuk mengontak temanku. Sudah lebih dari satu jam aku mencari spot Wifi di Stasiun Nijuubashimae tapi ponselku tak dapat tersambung juga ke internet. Bahkan petugas stasiun yang ramah pun tak dapat banyak membantu. Menurut mereka, di ruang bawah tanah ada kalanya tak mendapat sinyal internet. Dalam situasi yang cukup membuat panik, untunglah aku menemukan Bic Camera, toko elektronik yang juga menjual SIM Card tak jauh dari sana. Demi kemudahan komunikasi, aku pun mengorbankan 2400 yen untuk kuota internet 1 GB. Di sana aku tak hanya membeli SIM Card, tapi juga dibantu oleh staf di sana saat mengubah APN agar kartu dapat digunakan.

Akhirnya aku bertemu dengan alumni Universitas Waseda itu di salah satu sudut taman Imperial Palace. Kami beristirahat sejenak di salah satu bangku kayu yang menghadap monumen Kusunoki Masashige. Untuk mengalihkan perhatian dari teriknya cuaca hari itu, kami membicarakan banyak hal termasuk sejarah tokoh pada monumen tersebut. Menurut penjelasan temanku, Masashige adalah salah satu samurai yang sangat berjasa melindungi keluarga kaisar pada zaman Kamakura. Maka dari itu sebagai apresiasi, keluarga kaisar membuatkan monumen tersebut di lingkungan istana.

Sebelum memulai tur lebih jauh, temanku mengajak untuk makan siang terlebih dulu. Mengingat aku yang harus menghindari daging babi dan alkohol, ia bertanya makanan apa yang boleh kumakan. Teringat akan cerita sensei tentang ramen yang rata-rata memakai kaldu babi, tentu kusingkirkan jauh-jauh ramen dari opsi makan siang. Karena sensei-ku berkata udon terbilang cukup aman, jadi aku memilih itu untuk makan siang. Alumni Universitas Waseda itu teringat sebuah kedai udon yang berada di dalam stasiun. Lalu ia mengajakku kembali ke stasiun untuk makan udon.

Setelah puas menikmati udon berkuah dingin ala musim panas, kami melanjutkan perjalanan ke area lain Imperial Palace. Kami pun tiba di salah satu area yang begitu lapang dan terhampar kerikil di mana-mana. Karena hampir tak ada tempat berteduh, kami dan beberapa pelancong terpaksa berjuang di bawah panasnya sinar matahari. Saat hendak masuk ke area Jembatan Seimonishi, sayangnya sedang ditutup dengan semacam barikade. Jadi kami beralih menuju area Taman Timur Ninomaru yang berjarak 1,2 kilometer.

Taman itu untunglah dibuka, dan telah mengantri beberapa orang wisatawan lokal maupun asing. Tasku yang penuh oleh dompet, sapu tangan, botol minuman, dan sebagainya itu diperiksa oleh staf keamanan. Setelah diperiksa, aku dan temanku masuk ke area istana melalui gerbang yang sangat besar. Karena hanya dibuka sampai pukul 5 sore, jadi kami langsung berjalan menuju beberapa sudut yang dianggap menarik. Katanya area yang sedang kami lalui tersebut hanyalah bagian lain dari taman kompleks istana. Tapi aku begitu kagum karena yang disebut taman itu sangatlah luas. Di salah satu sudut terdapat rumah tradisional Jepang yang dulunya ditempati oleh polisi dan ada kuil Shinto juga.

 “Koko ni wa heiwa da ne (Di sini damai sekali ya)”

Un, sou da yo ne (Iya, damai ya),” temanku pun berpendapat demikian.

Sepanjang jalan, aku begitu menikmati kedamaian yang tersembunyi. Bagiku, dengan berjalan-jalan di sekitar Imperial Palace telah cukup membuat perhatianku teralihkan dari konflik yang telah memecah belah banyak golongan sekarang ini. Sekilas aku memandang kompleks istana ini seperti tempat pelarian sejenak dari kehidupan modern yang dinamis dan terkadang menimbulkan gesekan kepentingan antar individu.

Bicara soal Imperial Palace, aku sering mendengar di beberapa kesempatan istana ini benar-benar dibuka untuk umum. Bahkan wisatawan lokal maupun asing dapat melihat langsung Kaisar Jepang beserta keluarganya. Kalau tidak salah event spesial itu terjadi saat ulang tahun Kaisar di bulan Desember. Aku dapat membayangkan bagaimana rakyat Jepang yang mengelu-elukan simbol negara mereka memenuhi area istana yang sangat lapang. Sayangnya selain di event itu, pengunjung hanya bisa memasuki  beberapa taman istana saja.

Cukup puas berkeliling di area Imperial Palace, Tokyo Tower menjadi destinasi kami selanjutnya. Sambil sesekali mengusap keringat dengan sapu tangan, kami mengisi perjalanan dengan percakapan yang cukup seru. Untuk kesekian kalinya aku menemui kuil Shinto yang uniknya dibangun di antara gedung-gedung perkantoran mewah. Salah satu gradasi tradisional dan modern yang menurutku sangat jarang ditemui di negara lain termasuk Indonesia.

Tokyo Tower mulai terlihat dari kejauhan. Semakin mendekati area menara, semakin banyak wisatawan asing yang berjalan-jalan di sana. Sebagian dari mereka ada yang berbicara dalam bahasa Inggris, ada juga yang berbahasa Mandarin. Antrian yang cukup memanjang terpusat pada satu titik, tepat di bawah menara. Menurut temanku, itu antrian untuk membeli tiket masuk Tokyo Tower. Kami pun membeli tiket seharga 900 yen untuk naik ke ketinggian 150 meter.

Antrian tak hanya berhenti pada tempat pembelian tiket, tetapi di depan lift pun demikian. Lift tersebut hanya bisa dimasuki oleh sekitar 10 orang pengunjung, jadi pengunjung lain harus bersabar hingga 10 orang tersebut benar-benar tiba di tujuan. Tak lama kemudian, tiba giliran kami untuk naik. Selama lift melaju hingga ketinggian 150 meter, seorang guide wanita memberi sedikit informasi tentang Tokyo Tower dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Bersamaan dengan itu, kami dapat melihat pemandangan kota Tokyo dari jendela lift yang sesekali terhalang oleh pilar-pilar menara.

Aku dan pengunjung lainnya pun tiba di tujuan. Persis seperti yang selalu diberitakan, di ketinggian 150 meter ini pengunjung dapat melihat pemandangan melalui jendela yang sangat besar. Jendela tersebut tak hanya di satu titik, tapi di sekeliling area. Jadi kota Tokyo dapat dilihat dari berbagai arah. Untunglah cuaca saat itu sangat cerah, jadi aku dapat melihat Tokyo Skytree yang dari kejauhan seperti pena hitam, bianglala yang terletak di Odaiba, berbagai gedung sekolah dan sebagainya. 

Dari ketinggian, aku dapat melihat dengan jelas betapa luasnya Tokyo. Selama beberapa saat aku membayangkan sekeras apakah perjuangan bangsa Jepang untuk bangkit dari keterpurukan mereka setelah Perang Dunia II. Apa yang kulihat adalah gedung-gedung megah hasil karya bangsa yang terkenal pekerja keras ini. Sama sekali tak ada sisa keterpurukan Jepang di masa lalu. Justru di kota inilah segala inovasi dan hal futuristik lahir.

Tur pada hari ini pun berakhir. Sayangnya aku tak dapat menikmati pemandangan hingga malam tiba karena temanku harus mengerjakan sesuatu di luar. Lalu kami berpisah di Stasiun Daimon. Kembali mengandalkan aplikasi, aku mencari rute kereta dari Daimon ke Shibamata. Aku tiba di penginapan tepat pada saat Maghrib (Maghrib di musim panas Jepang sekitar pukul 7 malam). Di sana beberapa temanku tengah bersiap untuk memasak makan malam, dan aku ikut membantu karena perut sudah menagih jatah makan malam.

Hatiku sangat lega karena banyak sekali hal menarik yang terjadi hari ini. Pengalaman pertamaku naik densha sendirian, dibantu oleh banyak orang asing mulai dari pemuda baik hati, pegawai stasiun dan staf Bic Camera, dan melepas rindu dengan teman orang Jepang yang sudah dua tahun tak bertemu. Pada perjalanan kali ini, aku merasakan gradasi mengagumkan antara sisi tradisional dan modern di megapolitan Tokyo yang diwakili oleh Imperial Palace dan Tokyo Tower. Dan aku yakin, masih banyak gradasi lain di seantero negeri produsen mobil ini.

You Might Also Like

1 comments

  1. Deskriptif tulisannya mbak. Jadi bisa ikut membayangkan.
    Arigatou

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Flickr Images